Oleh : Bosman*
Konsep kuno yang menempatkan hakim hanya
sekedar “terompet undang-undang”
yang bersumber dari kalimat yang pernah disampaikan oleh Baron de Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755) empat abad
silam : “the judge as la bouche de la
loi, as the mouthpiece of the law”, tampaknya sudah harus dihapus dari
praktik peradilan, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang
lebih responsif. Hal ini sesungguhnya
merupakan kewajiban hakim yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa “hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”. Sehingga dari uraian ini, untuk menjamin kepastian
hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan sudah sepantasnyalah seorang hakim
senantiasa secara kontinyu melakukan proses penggalian dan penemuan hukum.
Tampaknya hal tersebut agak ganjil, karena
kita sudah terlalu meyakini bahwa ajaran Trias
Politica Montesquieu sebagai suatu doktrin yang paling benar. Dalam
masyarakat modern dengan permasalahan yang sangat kompleks, sudah tidak
realistis lagi untuk menerima ajaran tersebut sepenuhnya. Menurut kami, dari
perspektif ini tidak ada lagi perbedaan yang tajam antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, karena di saat kita mau menganut pemisahan yang tajam
dari ketiga komponen tersebut, maka kita telah terjebak dalam suatu legisme
positivis yang hanya mengagungkan undang-undang buatan legislatif sebagai
satu-satunya sumber hukum, padahal ia sudah tertinggal jauh dari laju
perkembangan kompleksitas masyarakat. Penulis sepakat dengan pendapat Benjamin Nathan Cardozo (dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum)
seorang hakim Amerika, yang menyatakan bahwa kewajiban hakim adalah menegakkan
objektivitas melalui putusan-putusannya. Bagi Cardozo, putusan-putusannya
tidaklah merupakan perwujudan aspirasi pribadinya, juga bukan manifestasi dari
pendirian pribadinya, dan juga bukan penerapan faslafah pribadinya, melainkan
putusan tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi, pendirian, dan falsafah
masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan. Sehingga, penulis sekaligus
mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh para hakim dalam proses
pembentukan hukum demi tercapainya tujuan hukum (judge made law).
Dalam hubungannya dengan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perselisihan (sengketa) hasil pemilukada
(PHPUD) yang dibuat oleh hakim-hakim MK, ternyata telah banyak mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, karena telah berani melakukan suatu
terobosan hukum yang memutus melampaui ketentuan undang-undang. Untuk pertama
kali, MK memutus melampaui ketentuan undang-undang adalah pada perkara Nomor
41/PHPU.D-VI/2008. Perkara tersebut diputus pada tanggal 2 Desember 2008, yaitu
mengenai PHPUD Pemilukada Gubernur Jawa Timur. Dalam perkara ini, MK memutus
untuk memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara
ulang di Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan.
Apa sesungguhnya ketentuan undang-undang yang
dilanggar atau yang dilampaui oleh MK? Bahwa pelanggaran-pelanggaran di dalam
sengketa Pemilukada dapat dikategorikan ke dalam beberapa pelanggaran Pemilu
ataupun pelanggaran Pemilukada seperti pelanggaran administratif dan tindak
pidana Pemilu, misalnya money politic, intimidasi, dan penganiayaan.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jenis-jenis pelanggaran tersebut masing-masing ditangani oleh
instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam
putusan-putusannya, MK memberikan pertimbangan hukumnya dengan memberikan
penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yaitu Mahkamah tidak hanya terpaku
secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU
12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan MK mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya
persoalan hasil perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004
juncto UU 12/2008 menyatakan, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya
pasangan calon”, dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, “Objek perselisihan
Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang mempengaruhi: a. penentuan
Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b.
terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.”
Selanjutnya, MK
memberikan alasan bahwa dalam mengemban misinya sebagai pengawal konstitusi dan
pemberi keadilan tidak dapat memainkan perannya dalam mewujudkan cita-cita dan
tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat
jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung perolehan suara
secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah tidak dapat atau dilarang
memasuki proses peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata terbukti
tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang menciderai hak-hak asasi manusia,
terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila MK diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun Pemilukada
berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja dengan
membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Jika demikian maka MK selaku institusi negara pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan
sebagai “tukang stempel” dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum (Daerah).
Jika hal itu terjadi berarti akan melenceng jauh dari filosofi dan tujuan
diadakannya peradilan atas sengketa hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut.
Terlebih lagi banyak fakta tentang terjadinya pelanggaran yang belum dapat
diselesaikan oleh peradilan umum karena waktu penyelidikan atau penyidikannya
telah habis, sedangkan KPU dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera
menetapkan hasil Pemilukada sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang.
Sehingga pada
akhirnya, dari pandangan hukum seperti tersebut di atas, maka MK dalam
mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat
hasil perolehan suara an sich, melainkan juga meneliti secara mendalam adanya
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi
hasil perolehan suara tersebut. Hal ini sangat sejalan dengan ketentuan yang
mengharuskan MK memutus sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat
bukti dan keyakinan hakim”. Dalam berbagai putusan MK yang seperti tersebut
di atas, terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan,
baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau
Pemilukada.
Dalam praktik
yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, MK dapat menilai pelanggaran-pelanggaran yang
terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu putusan dengan alasan
pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat mempengaruhi hasil peringkat
perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau Pemilukada (vide Putusan
Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008). Dasar
konstitusional atas sikap MK ini adalah ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili..., dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut
jelas dinyatakan bahwa Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum”
dan bukan sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah
sebagai lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan
umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan
sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam
proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada;
Dari
putusan-putusan MK tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam menilai proses
terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut MK membedakan berbagai pelanggaran
ke dalam tiga kategori, Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak
berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu
atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan
lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran yang seperti ini MK
tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi
ranah peradilan umum dan/atau PTUN; Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu
atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti money
politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan
sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau
Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara
terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam
berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak
signifikan memengaruhi hasil Pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat
sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan
pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh MK untuk
membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPUProvinsi/Kabupaten/Kota; dan Ketiga,
pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan
dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat
keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk
membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak
memenuhi syarat sejak awal.
Bahwa
berdasar pandangan dan paradigma yang dianut tersebut maka penulis juga menyimpulkan
bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan
mengambil alih kewenangan badan peradilan lain, karena MK tidak akan pernah
mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam Pemilu atau Pemilukada,
melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu
yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada sebagai dasar putusan
tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para
pelakunya. Dengan kata lain, sampai saat ini dan sesuai dengan yurisprudensi
yang ada, MK tidak menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilukada
atau tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi,
namun tetap dapat memeriksa dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat
pada hasil penghitungan suara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan
bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk
penyelenggaraan Pemilukada. Pandangan Mahkamah demikian menurut penulis didasarkan
atas pemahaman bahwa demokrasi tidak saja dilakukan berdasarkan atas pergulatan
kekuatan politik semata, namun lebih jauh dari itu harus dilaksanakan sesuai dengan
aturan hukum atau nomokrasi. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diperoleh
secara demokratis semata-mata dapat dibatalkan oleh pengadilan jika ternyata
terdapat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum yang dapat dibuktikan
secara sah dan meyakinkan di hadapan pengadilan.