LABEL

Selasa, 10 April 2012

HUKUM BARU DALAM SENGKETA HASIL PEMILUKADA



Oleh : Bosman*


Konsep kuno yang menempatkan hakim hanya sekedar “terompet undang-undang” yang bersumber dari kalimat yang pernah disampaikan oleh Baron de Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755) empat abad silam : “the judge as la bouche de la loi, as the mouthpiece of the law”, tampaknya sudah harus dihapus dari praktik peradilan, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang lebih responsif. Hal ini sesungguhnya merupakan kewajiban hakim yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sehingga dari uraian ini, untuk menjamin kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan sudah sepantasnyalah seorang hakim senantiasa secara kontinyu melakukan proses penggalian dan penemuan hukum.

Tampaknya hal tersebut agak ganjil, karena kita sudah terlalu meyakini bahwa ajaran Trias Politica Montesquieu sebagai suatu doktrin yang paling benar. Dalam masyarakat modern dengan permasalahan yang sangat kompleks, sudah tidak realistis lagi untuk menerima ajaran tersebut sepenuhnya. Menurut kami, dari perspektif ini tidak ada lagi perbedaan yang tajam antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, karena di saat kita mau menganut pemisahan yang tajam dari ketiga komponen tersebut, maka kita telah terjebak dalam suatu legisme positivis yang hanya mengagungkan undang-undang buatan legislatif sebagai satu-satunya sumber hukum, padahal ia sudah tertinggal jauh dari laju perkembangan kompleksitas masyarakat. Penulis sepakat dengan pendapat Benjamin Nathan Cardozo (dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum) seorang hakim Amerika, yang menyatakan bahwa kewajiban hakim adalah menegakkan objektivitas melalui putusan-putusannya. Bagi Cardozo, putusan-putusannya tidaklah merupakan perwujudan aspirasi pribadinya, juga bukan manifestasi dari pendirian pribadinya, dan juga bukan penerapan faslafah pribadinya, melainkan putusan tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi, pendirian, dan falsafah masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan. Sehingga, penulis sekaligus mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh para hakim dalam proses pembentukan hukum demi tercapainya tujuan hukum (judge made law).

Dalam hubungannya dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perselisihan (sengketa) hasil pemilukada (PHPUD) yang dibuat oleh hakim-hakim MK, ternyata telah banyak mengalami perkembangan yang cukup signifikan, karena telah berani melakukan suatu terobosan hukum yang memutus melampaui ketentuan undang-undang. Untuk pertama kali, MK memutus melampaui ketentuan undang-undang adalah pada perkara Nomor 41/PHPU.D-VI/2008. Perkara tersebut diputus pada tanggal 2 Desember 2008, yaitu mengenai PHPUD Pemilukada Gubernur Jawa Timur. Dalam perkara ini, MK memutus untuk memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan.
Apa sesungguhnya ketentuan undang-undang yang dilanggar atau yang dilampaui oleh MK? Bahwa pelanggaran-pelanggaran di dalam sengketa Pemilukada dapat dikategorikan ke dalam beberapa pelanggaran Pemilu ataupun pelanggaran Pemilukada seperti pelanggaran administratif dan tindak pidana Pemilu, misalnya money politic, intimidasi, dan penganiayaan. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jenis-jenis pelanggaran tersebut masing-masing ditangani oleh instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam putusan-putusannya, MK memberikan pertimbangan hukumnya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yaitu Mahkamah tidak hanya terpaku secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan MK mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 menyatakan, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon”, dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, “Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.”

Selanjutnya, MK memberikan alasan bahwa dalam mengemban misinya sebagai pengawal konstitusi dan pemberi keadilan tidak dapat memainkan perannya dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung perolehan suara secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah tidak dapat atau dilarang memasuki proses peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang menciderai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila MK diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun Pemilukada berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja dengan membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil. Jika demikian maka MK selaku institusi negara pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan sebagai “tukang stempel” dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum (Daerah). Jika hal itu terjadi berarti akan melenceng jauh dari filosofi dan tujuan diadakannya peradilan atas sengketa hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut. Terlebih lagi banyak fakta tentang terjadinya pelanggaran yang belum dapat diselesaikan oleh peradilan umum karena waktu penyelidikan atau penyidikannya telah habis, sedangkan KPU dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera menetapkan hasil Pemilukada sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

Sehingga pada akhirnya, dari pandangan hukum seperti tersebut di atas, maka MK dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich, melainkan juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Hal ini sangat sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan MK memutus sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”. Dalam berbagai putusan MK yang seperti tersebut di atas, terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan, baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada.

Dalam praktik yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, MK dapat menilai pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat mempengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau Pemilukada (vide Putusan Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008). Dasar konstitusional atas sikap MK ini adalah ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah sebagai lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada;

Dari putusan-putusan MK tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam menilai proses terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut MK membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori, Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran yang seperti ini MK tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN; Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan memengaruhi hasil Pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh MK untuk membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPUProvinsi/Kabupaten/Kota; dan Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.

Bahwa berdasar pandangan dan paradigma yang dianut tersebut maka penulis juga menyimpulkan bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan mengambil alih kewenangan badan peradilan lain, karena MK tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam Pemilu atau Pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada sebagai dasar putusan tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para pelakunya. Dengan kata lain, sampai saat ini dan sesuai dengan yurisprudensi yang ada, MK tidak menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilukada atau tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi, namun tetap dapat memeriksa dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada. Pandangan Mahkamah demikian menurut penulis didasarkan atas pemahaman bahwa demokrasi tidak saja dilakukan berdasarkan atas pergulatan kekuatan politik semata, namun lebih jauh dari itu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum atau nomokrasi. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diperoleh secara demokratis semata-mata dapat dibatalkan oleh pengadilan jika ternyata terdapat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum yang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan di hadapan pengadilan.


*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

Senin, 09 April 2012

KPU PROV SULTRA STUDI BANDING KE PROVINSI BENGKULU


Pilihan untuk melakukan studi banding pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Bengkulu di dasari atas beberapa alasan, antara lain : (i) dari beberapa informasi yang diperoleh bahwa KPU Provinsi Bengkulu tetap menetapkan Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur meskipun anggaran belum dicairkan (terkendala masalah anggaran), hal ini mirip dengan yang dialami oleh KPU Provinsi Sulawesi Tenggara; (ii) Ketua KPU Provinsi Bengkulu ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu karena diduga telah menyalahgunakan kewenangan yang menguntungkan pihak lain akibat pengelolaan anggaran Pemilihan; (iii) KPU Provinsi Bengkulu melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur serentak dengan 7 (tujuh) KPU Kabupaten yang melaksanakan pemilihan bupati dan wakil bupati dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota di provinsi Bengkulu; dan (iv) Meskipun terdapat kendala seperti tersebut di atas, namun proses pelaksanaan pemilihan dan penghitungan suara tidak terdapat permasalahan yang berarti. Inilah yang menjadi pokok-pokok alasan atas pilihan untuk melaksanakan studi banding di Provinsi Bengkulu.
Tim dari KPU Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 2 (dua) komisioner, yaitu : Bosman, S.Si, SH, MH, dan Abdul Syahir, S.Sos, SH, MH, dan didampingi oleh 4 (empat) orang pejabat struktural sekretariat KPU Prov Sultra. Studi banding dilakukan dengan mengunjungi Kantor KPU Provinsi Bengkulu setelah berkoordinasi dengan Ketua KPU Provinsi Bengkulu Parsadaan Harahap, SP. Di KPU Provinsi Bengkulu, Tim diterima oleh komisioner KPU Prov Bengkulu Sa’adah Mardiyanti dan Kabag Program, Data, dan SDM, Drs Siswanto.
Metode studi banding dilakukan dengan rapat tatap muka dan kunjungan lapangan. Rapat Tatap Muka dilakukan di Kantor KPU Bengkulu pada tanggal 05 April 2012 yang dihadiri oleh seluruh anggota Tim, dan dari pihak KPU Prov Bengkulu komisioner, Sa’adah Mardiyanti; Sekretaris Drs Yuhardin Seman; Kabag Umum dan Logistik, Wirin, S.Pd; Kabag Hukum, Teknis, dan Hupmas, Junaidi, SH; Kabag Program, Data, dan SDM, Drs Siswanto; dan seluruh Kasubag lingkup Sekretariat KPU Prov Bengkulu. Tim KPU Prov Sultra melalui Bosman, S.Si, SH, MH mengemukakan beberapa hal yang perlu di sharing terkait penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, antara lain pengelolaan sistem pendukung (supporting system), yaitu pengelolaan personel penyelenggara pemilu (SDM), pengelolaan anggaran, pengelolaan logistik, dan pengelolaan dokumentasi kearsipan/Media Centre serta pengelolaan tahapan penyelenggaraan (electoral governance) khusus menyangkut pengelolaan penyusunan Data dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pengelolaan proses penghitungan suara (counting).
Selanjutnya, Tim melakukan kunjungan lapangan ke KPU Kota Bengkulu, dan diterima langsung oleh Ketua KPU Kota Bengkulu, Salahuddin Yahya dan Sekretaris KPU Kota Bengkulu, Sisanto, SP. Di KPU Kota Bengkulu, tim dipresentasikan tentang penggunaan e-counting yang sudah diterapkan beberapa kali dalam Pilkada di beberapa KPU Kabupaten/Kota se Provinsi Bengkulu termasuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu. Penggunaan e-counting ini menunjukkan akurasi 98% dari hasil perolehan suara manual. Penerapannya dapat mencegah manipulasi dalam penghitungan suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan data perhitungan suara berbasis TPS dapat terpelihara dengan baik. Selain itu, dipersentasikan pula rencana penggunaan e-voter registration yang prinsipnya sama dengan e-counting yang dapat berfungsi untuk membuka akses kepada pemilih dan pemangku kepentingan dalam proses pendaftaran pemilih.
Setelah mendengarkan pemaparan dari KPU Provinsi Bengkulu serta kunjungan lapangan ke KPU Kota Bengkulu, Tim berkesimpulan untuk merekomendasikan beberapa hal sebagai acuan buat KPU Prov Sultra dalam pengambilan kebijakan : (i) agar tidak menimbulkan permasalahan di belakang hari, agar dipastikan dahulu seluruh pembiayaan harus memiliki dasar hukum sebelum dibayar, misalnya Peraturan Gubernur menyangkut Pembiayaan Bersama, Keputusan Gubernur menyangkut Standarisasi Honorarium Penyelenggara Pemilihan, termasuk Standarisasi Honorarium Kepanitiaan/Kelompok Kerja; (ii) Pengadaan barang dan jasa harus benar-benar memperhatikan Peraturan Presiden yang mengatur tata cara pengadaan barang dan jasa; (iii) pengelolaan DPT sedapat mungkin menerapkan sistem e-voter registration  selain pendaftaran pemilih manual; (iv) pengelolaan dokumentasi hasil pemilu sedapat mungkin menerapkan sistem e-counting, selain penghitungan suara manual, agar integritas proses dapat terjaga dan dipercaya oleh masyarakat; dan (v) koordinasi dan komunikasi yang intens dengan seluruh pemangku kepentingan termasuk personel pengamanan.

Minggu, 08 April 2012

Rapat Koordinasi Persiapan Pilgub Sultra 2012

Para komisioner KPU Sultra
Rapat koordinasi persiapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 28 Maret 2012 di Hotel Plaza Inn Kendari diikuti oleh para Ketua, Sekretaris, dan 1 (satu) orang Anggota KPU Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara.
Dalam rakor tersebut, para komisioner KPU Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri atas Bosman, S.Si, SH., MH, Abd Syahir, S.Sos., SH, MH, Ir. Mas'udi, dan La Ode Muhammad Arddin, SE memaparkan tentang kesiapan pelaksanaan Pilgub Sultra 2012. Meskipun terkendala anggaran, namun berdasarkan hasil konsultasi dengan Pemerintah Provinsi Sultra, bahwa Pemprov menjamin berapa pun yang menjadi kekurangan anggaran akan ditambahkan dalam APBD Perubahan 2012. Berdasarkan jaminan tersebut, maka KPU Provinsi Sultra akan menetapkan Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
Dian Anggraini dan Ir Mas'udi
Dalam kesempatan itu pula dilakukan penandatanganan Naskah Kesepahaman (MoU) antara KPU Provinsi Sulawesi Tenggara yang diwakili oleh Ketua KPU Prov Sultra, Ir. Mas'udi dengan KPU Kota Bau-Bau yang diwakili oleh Ketua KPU Kota Bau-Bau, Dian Anggraini, S.Hut. Naskah kesepahaman berisi kesepakatan untuk melaksanakan pemungutan suara Pilgub Sultra dan Pilwali Baubau pada hari dan tanggal yang sama, yaitu pada Minggu, 4 Nopember 2012. Selain itu, disepakati pula bahwa bila terjadi sesuatu hal yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan Pilgub, maka Pilwali dapat berjalan sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan, dan sebaliknya. Rapat Koordinasi ditutup pada pukul 14.00 WITA.

Sabtu, 07 April 2012

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM CENGKERAMAN REZIM GANDA



Oleh : Bosman*

Dalam perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat dengan pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni bagaimana proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu jabatan (ambt) dengan pejabat (ambtdrager). Sehingga, pemilihan kepala daerah dalam perspektif tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu (i) adanya jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah; (ii) adanya tata cara (mekanisme) tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan (iii) adanya pejabat, dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota. Khusus tentang tata cara pengisian jabatan, akan memunculkan pertanyaan : Apa yang menjadi alasan jabatan kepala daerah itu harus diisi dengan cara pemilihan (election)?.

Pada negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol itu sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Tiap jabatan yang secara langsung dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah pengawasan langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan keikutsertaan ataupun pengukuhan publik.

Dalam praktek berdasarkan hukum positif yang pernah berlaku, sejak negeri ini diproklamirkan sampai menjelang reformasi, mekanisme pengisian jabatan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah (UU No 1/1945, UU No 1/1957, Penpres No 6/1959, UU No 18/1965, UU No 5/1974, dan UU 22/1999). Berbeda dengan kepala daerah, DPRD yang merupakan salah satu unsur pemerintahan daerah, justru mekanisme pemilihannya diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan umum (UU No 15/1969, UU No 4/1975, UU No 2/1980, UU No 1/1985, UU No 3/1999, UU No 12/2003, dan UU No 10/2008). Sehingga ditinjau dari pengaturan mekanisme pengisian jabatan ini, maka muncullah istilah rezim pemerintahan daerah dan rezim pemilu, dan dapat dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah dikategorikan sebagai rezim pemerintahan daerah, dan pemilihan anggota DPRD dikategorikan sebagai rezim pemilu. Suatu hal yang agak unik, karena dua unsur sistem pemerintahan daerah tersebut (kepala daerah dan DPRD) mekanisme pengisian jabatannya diatur dengan rezim pengaturan yang berbeda.

Pilkada Dalam Rezim Pemerintahan Daerah
Setelah era reformasi, yang diikuti dengan beberapa proses desakralisasi terhadap konstitusi UUD 1945, lahirlah legislasi baru dalam sistem pemerintahan daerah, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari-hari terakhir masa jabatannya. Dikatakan baru, karena terdapat pengaturan yang belum pernah diatur dalam legislasi tentang pemerintahan daerah sebelumnya. Hal-hal baru tersebut, antara lain adalah pengaturan mengenai pengisian jabatan kepala daerah yang dilaksanakan melalui pemilihan (bukan pemilihan umum) secara langsung oleh rakyat (pasal 56 sampai dengan pasal 119). UU No. 32 Tahun 2004 “enggan” menggunakan istilah pemilihan umum untuk proses ini, karena tidak ada satu frase pemilihan umum pun yang digunakan untuk menjelaskan tentang tata cara pemilihan kepala daerah. Keengganan semakin jelas bila menelaah lebih jauh dasar konsideran “mengingat” dalam pembentukan UU tersebut. Ternyata, yang dijadikan acuan pembentukan UU tersebut adalah ketentuan pasal 18 UUD 1945 (pengaturan tentang pemerintah daerah), tanpa sama sekali mempertimbangkan ketentuan pasal 22 E (pengaturan tentang pemilihan umum) UUD 1945. Namun, kenyataannya bahwa pembuat undang-undang menerjemahkan frase “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan pemilihan langsung yang tidak lain menggunakan mekanisme dan tahapan-tahapan sebagaimana layaknya pemilihan umum.

Hal yang sangat tidak wajar adalah persoalan penyelenggara pemilihan kepala daerah. Dalam ketentuan pasal 1, khususnya angka 21 UU No. 32/2004 mendefinisikan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan ini, sesungguhnya penyelenggara pemilu di daerah (KPU Provinsi/Kabupaten/Kota) telah di otonomisasi dan/atau di desentralisasi sebagaimana prinsip-prinsip yang terkandung dalam sistem pemerintahan daerah. Akibatnya, label-label otonomi daerah melekat pada KPU di daerah dengan menambah embel-embel Daerah di belakang KPU, sehingga sejak saat itulah pertama kali dikenal istilah KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada KPU yang membentuknya. Padahal, ketentuan pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa komisi pemilihan umum bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Namunpun demikian, menurut penulis, tak dapat disangkali bahwa secara umum pemilihan kepala daerah pada periode rezim ini berlangsung dengan relatif cukup baik, meskipun tak dapat disangkali pula bahwa dengan otonomi penyelenggara pemilu di daerah telah menimbulkan daya ikat yang kuat antara elit daerah dengan para komisioner di daerah, yang rasanya kurang elok bila dipandang dari perspektif kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu. Terlebih lagi sumber anggaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah berasal dari APBD, yang sangat mungkin menimbulkan suatu proses tawar-menawar dengan DPRD dan Pemda, apalagi oknum DPRD dan/ atau oknum pejabat Pemda berniat untuk menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah.

Pilkada Dalam Rezim Pemilu
Banyaknya kritik terhadap desentralisasi/otonomisasi penyelenggara pemilu di daerah selama kurun waktu 2004-2006 akibat pengaturan penyelenggara pemilu dalam UU 32/2004 yang diberi kewenangan khusus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah terlepas dari induknya, menimbulkan pemikiran pembuat undang-undang untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur penyelenggara pemilihan umum.

Pemikiran tersebut bermuara pada terbitnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang sepertinya memberi angin segar memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum. Hal ini dapat disimak dari definisi ketentuan pasal 1 angka 4 undang-undang tersebut, yakni bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini, secara yuridis formal telah mengkategorikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum, dan sebagian orang kemudian mengekspresikan pemilihan kepala daerah dengan menggunakan istilah “pemilukada” (bukan lagi pilkada), sebagai pertanda berubahnya rezim yang menguasainya, meskipun sebagian orang (termasuk penulis) masih terbiasa menyebut dengan istilah pilkada.

Meskipun pemilihan kepala daerah telah dikategorikan sebagai pemilu oleh UU 22/2007, namun undang-undang ini hanya mengembalikan kewenangan penyelenggara pemilu pada posisi yang nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis tetapi belum mengubah paradigma pemilu kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah, karena belum ada pengaturan lain tentang mekanisme, teknis, dan penganggaran tentang pilkada, selain yang diatur dalam UU 32/2004 (sebagaimana telah diubah 2 kali dan terakhir dengan UU 12/2008).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah saat ini berada dalam kekuasaan dua rezim tersebut. Beberapa alasan dan fakta yang mendasari pemikiran ini antara lain adalah : pertama, dasar pelaksanaan pilkada apapun alasannya masih merujuk pada UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang secara substansi banyak bertentangan dengan pengaturan mengenai penyelenggara pemilu yang diatur dalam UU 22/2007 tentang penyelenggara pemilu, misalnya saja masalah masa jabatan badan pelaksana pemilu yang relatif lama, sementara tahapan yang dilaksanakan tidak berubah (relatif lebih singkat), akibatnya dari sisi efektifitas anggaran terjadi pemborosan; kedua, sumber anggaran pemilihan kepala daerah masih berasal dari APBD, yang merupakan domain kekuasaan pemerintahan daerah, tetapi pelaksananya adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis yang merupakan domain kekuasaan rezim pemilu, akibatnya tidak ada sinkronisasi antara tahapan dan anggaran, sehingga tidak jarang tahapan yang sudah dibuat akan direvisi terus, sampai tersedia anggaran yang cukup memadai, yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Fakta menunjukkan bahwa dari 7 provinsi dan 240-an kabupaten/kota yang berencana melaksanakan pemilu kepala daerah pada tahun 2010, hampir semua tertunda beberapa kali tahapannya hanya karena tidak memadainya anggaran, baik itu belum disetujui di DPRD, maupun yang terhambat karena belum di tanda tanganinya Akta Hibah dengan Pemerintah Daerah.

Menurut penulis, hal yang harus segera dibenahi yang merupakan akar permasalahan pemilu kepala daerah adalah membuat sinkronisasi pengaturan masalah pemilu kepala daerah dengan pemilu presiden/wakil presiden, pemilu legislatif, dan penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu membenahi konstitusi (baca opini : Gagasan Pemilu Eksekutif Serentak dan Amandemen Konstitusi, Kendari Ekspres edisi 12 Januari 2010), selanjutnya barulah dibuat konstruksi pengaturan mengenai pelaksanaan pemilu presiden dan kepala daerah, yang penganggarannya bersumber dari APBN.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

REDESAIN SISTEM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF



Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian Media Sultra, Rabu 8 Pebruari 2012, Nomor 2311/Tahun IX

Mengawali tulisan ini, penulis terlebih dahulu mengutip rumusan tentang pemilihan umum yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, dkk (2008) yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota legislatif (pusat dan daerah), presiden/wakil presiden, dan kepala daerah/wakil kepala daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Mekanisme pendelegasian ini dilakukan secara periodik dan tertib agar terjadi suatu sirkulasi elit yang elegan, yang bertujuan untuk memindahkan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab. Dari rumusan tersebut, berarti dalam pemilihan umum terdapat suatu cara penerjemahan suara rakyat dalam bentuk pemungutan suara yang dikumpulkan dan dihitung lalu dikonversi menjadi kursi-kursi yang diisi oleh para kandidat yang kemudian menjadi penyelenggara negara sebagai pemegang mandat atas pendelegasian tersebut di atas. Mekanisme penerjemahan suara menjadi kursi ini, kemudian dikenal sebagai Sistem Pemilihan Umum sebagaimana didefinisikan oleh Andrew Reynold, dkk (2005) : At the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates.
Berbicara tentang konversi suara menjadi kursi, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi pertimbangan ketika mendesain suatu sistem pemilihan umum, yaitu representasi (keterwakilan) suara dan akuntabilitas kandidat terpilih. Hal ini pula yang kemudian menimbulkan pemilahan sistem pemilihan umum atas dua arus pemikiran. Menurut Farrell (1997), dua arus pemikiran tersebut adalah : pertama, konsep mikrokosmos yang mengandaikan legislatif adalah sampel dari populasi masyarakat atau miniatur masyarakat, sehingga legislatif harus merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan bertindak; dan kedua, konsep prinsipal-agen yang mengandaikan bahwa legislatif merupakan pemegang kuasa rakyat, yang bertindak mewakili kepentingan para pihak yang memilihnya tanpa mempersoalkan komposisi statistik-sosiologis. Atas dasar pemikiran tersebut, konsep pemikiran pertama diyakini dapat diakomodasi sebagai sistem pemilihan umum proporsional, dan konsep pemikiran kedua mewakili sistem pemilihan umum majority (di Indonesia, sistem pemilihan kedua ini menyebutnya sebagai sistem distrik, suatu penyebutan yang tidak lazim dalam membahas sistem pemilu, namun telah sering digunakan oleh para politisi dalam membahas sistem pemilu).
Dewasa ini, varian sistem pemilihan umum yang dianut oleh negara-negara demokratis sangat banyak jenisnya, namun menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) sistem pemilu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu Plurality/Majority (P/M) Systems, Proportional Representation (PR) Systems, Mixed Systems, dan Other Systems (Andrew Reynold, dkk, 2005). Setiap jenis sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tidak ada satu sistem pemilu pun yang dapat dikatakan lebih sempurna dari yang lain. Hal ini cukup beralasan, karena bila kita menginginkan keterwakilan (representasi) suatu sistem pemilu cukup tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan dengan wakil yang banyak (multi-member districs), maka berarti pilihan kita adalah PR Systems, namun pasti akan terkendala pada faktor akuntabilitas calon terpilih, karena ia akan lebih loyal kepada partai yang mencalonkannya ketimbang konstituennya dan sebaliknya bila kita menginginkan akuntabilitas calon terpilih tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member districs), yang berarti pilihan kita adalah P/M Systems, namun pasti banyak suara yang akan hilang tidak terkonversi menjadi kursi (derajat representasi/ keterwakilannya rendah), karena prinsip the winner takes all dari sistem ini. Namunpun demikian, bukan berarti kemudian kita (terutama pembuat Undang-Undang) kehilangan akal untuk mencari bentuk sistem pemilu yang paling tepat diadopsi dengan mempertimbangkan tujuan dari tatanan politik yang dikehendaki.
Bagaimana dengan sistem pemilu legislatif di Indonesia?. Untuk keperluan dan kebutuhan redesain, kita membutuhkan informasi mengenai pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum yang pernah dilaksanakan. Sejak Proklamasi kemerdekaan 1945, Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum legislatif sebanyak 10 (sepuluh) kali, dengan rincian 1 (satu) kali di masa rezim Orde Lama, 6 (enam) kali di era Orde Baru, dan 3 (tiga) kali pada era pasca reformasi.
Pada Pemilu Orde lama 1955, diadopsi PR systems dengan subvarian close list PR (CLPR) yang pembagian kursinya menggunakan sistem kombinasi nasional dengan pemberlakuan stembuss accord, yaitu seluruh sisa suara yang tidak terkonversi menjadi kursi di 16 daerah pemilihan (termasuk 1 daerah pemilihan yang tidak melaksanakan pemilu ; Irian Jaya/Papua dan Papua Barat sekarang) digabung secara nasional untuk keperluan pembagian sisa kursi yang belum teralokasi. Daerah pemilihan yang dibentuk merupakan wilayah administratif saat itu, tanpa pembatasan district magnetude. Meskipun derajat representasi sangat tinggi, namun pemilu ini  menempatkan wakil 27 partai politik di DPR dan 1 orang calon perseorangan, sehingga di lembaga legislatif terbentuk pluralisme terpolarisasi yang bukan saja sulit dalam pengambilan keputusan bahkan terjadi konflik di antara elit-elit partai tersebut. Pemilu Orde Baru, juga masih mengadopsi CLPR. Karena peserta pemilu hanya dua partai politik dan satu golongan karya (kecuali Pemilu 1971, peserta pemilunya 10 kontestan), sudah pasti di lembaga legislatif akan terbentuk pluralisme sederhana bahkan single-party yang meskipun dapat menjamin stabilitas pemerintahan namun cenderung otoriter. Hal menarik dari sistem pemilu di era orde baru adalah district magnetude-nya mengakomodasi territorial representation (perwakilan wilayah) dengan memberikan jaminan minimal satu kursi pada kabupaten/kota sehingga terjadi perimbangan jumlah kursi antara Jawa dan luar Jawa (bayangkan, kalau diterapkan sekarang, berarti alokasi kursi DPR di Sultra minimal 12 kursi). Pemilu 1999, pemilu multipartai kedua setelah 1955 dengan tetap mengadopsi CLPR, bedanya dalam pemilu ini tidak memberlakukan sistem kombinasi, tetapi kursi habis di daerah pemilihan dengan memberlakukan stembuss accord, sementara mekanisme pembentukan district magnetude-nya sama dengan pemilu orde baru. Hasil pemilu menunjukkan 21 partai politik berhasil menempatkan wakilnya di DPR, sehingga dalam lembaga legislatif terbentuk pluralisme terpolarisasi. Pemilu 2004, pemilu pertama kali yang secara formal menggunakan open list PR (OLPR), namun secara materiil (substansi) tetap CLPR. Ballot structure-nya menggunakan OLPR yang kemudian berdampak pada mahal dan rumitnya pemilu 2004, sementara electoral formula-nya menggunakan CLPR, dimana kandidat terpilih bukan ditentukan oleh pemilih namun ditentukan oleh partai politik melalui nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Kandidat populer yang ditempatkan pada nomor urut besar hanya dijadikan sebagai vote getter oleh partai politik untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, namun tidak mengantarkannya sebagai kandidat terpilih. Pemilu ini kemudian membentuk sistem kepartaian pluralisme terpolarisasi, yang menempatkan 16 parpol di DPR dan kemudian membentuk koalisi gemuk yang tidak efektif. Pemilu 2009 menerapkan sepenuhnya OLPR (itupun setelah diluruskan dengan putusan MK), lalu memodifikasi Pemilu 2004 dengan memperkecil district magnetude dan penambahan sistem kombinasi di tingkat provinsi untuk pembagian sisa kursi yang tidak mencapai 50% BPP di daerah pemilihan serta memberlakukan parliamentary treshold 2,5%. Pemilu ini menghasilkan sistem kepartaian pluralisme moderat dengan menempatkan 9 partai politik di DPR. Namunpun demikian, Sistem Pemilu 2009 yang menerapkan OLPR berdampak pada rumit dan mahalnya biaya surat suara dan formulir penghitungan suara, tidak saja rumit bagi penyelenggara, namun menyulitkan pemilih serta rawan kecurangan, baik dilakukan kandidat, penyelenggara maupun kolaborasi keduanya. Hal ini tidak bisa dihindari karena sistem pemilu OLPR, mengharuskan penempatan nama kandidat yang jumlahnya ratusan, dengan jumlah partai politik yang banyak pada surat suara. Selanjutnya, penerapan OL PR telah membuat konflik antar-kandidat dalam internal partai politik di daerah pemilihan yang sama dan berujung pada tidak sehatnya penataan institusi partai politik yang notabene bertugas melakukan pendidikan politik bagi masyarakat, serta visi misi, dan semangat kolektif partai politik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai dan dalam jangka panjang akan semakin menurunkan kepercayaan rakyat terhadap partai politik.
Dari uraian di atas, untuk mencapai pemilu yang berderajat representasi dan akuntabilitas yang baik dengan mempertimbangkan sistem kepartaian multipartai pluralisme sederhana yang menopang stabilitas sistem pemerintahan presidensiil, perlu melakukan redesain sistem pemilihan umum. Untuk keperluan ini, penulis akan merekomendasikan suatu sistem pemilu yang menggabungkan antara PR system dan M/P System, dengan maksud mengambil keuntungan dari kedua sistem tersebut dan kelemahan yang satu dapat ditutupi oleh kelebihan sistem pemilu yang lainnya atau sebaliknya. Menurut penulis, varian yang paling cocok digabungkan adalah varian CLPR dari PR systems dan First Past The Post (FPTP) dari M/P Systems. Alasan pilihan penulis, karena kedua varian sistem tersebut cukup sederhana, mudah diterapkan, mudah dipahami pemilih, tidak rawan manipulatif, dan murah. Secara singkat operasionalisasinya dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Jumlah kursi DPR dialokasikan pada setiap provinsi berdasarkan jumlah penduduk, sekaligus ditentukan jumlah kursi yang dipilih untuk CLPR maupun FPTP setiap provinsi dengan ketentuan bila jumlah kursi di provinsi tersebut bernilai genap, maka jumlah kursi CLPR sama dengan jumlah kursi FPTP, dan jumlah kursi CLPR lebih besar dari FPTP bila jumlah kursi ganjil; Kedua, Daerah Pemilihan untuk CLPR adalah provinsi, sementara daerah pemilihan FPTP adalah provinsi atau gabungan kabupaten/kota, kabupaten/kota, atau gabungan kecamatan, dimana satu provinsi minimal terbentuk 1 daerah pemilihan FPTP; Ketiga, Pencalonan, setiap partai dapat mengajukan daftar calon maksimal 120% dari kuota kursi CLPR di setiap provinsi dan mengajukan 1 orang calon di setiap daerah pemilihan FPTP; Keempat, Ballot Structure, surat suara memuat tanda gambar partai dan foto calon yang diajukan lewat FPTP (sudah pasti tanda gambar partai lebih banyak atau sama dengan jumlah foto calon), sehingga pemilih diminta memilih salah satu tanda gambar partai dan/atau salah satu foto calon (bila jumlah partai seperti Pemilu 2009 lalu, maka surat suara maksimal sebesar kertas doublefolio); Kelima, pembagian kursi, untuk hasil perolehan suara tanda gambar partai politik menggunakan sistem quota varian Hare murni, dimana sisa suara dibagi menurut prinsip the largest remainder untuk setiap provinsi, dan untuk perolehan suara calon, kursi otomatis diberikan kepada partai yang mengajukan calon yang menang di setiap daerah pemilihan FPTP dengan menggunakan prinsip the winner takes all (bila diberlakukan treshold, maka partai yang dapat diikutkan dalam pembagian kursi adalah partai yang melampaui treshold tersebut); dan Keenam calon terpilih untuk daerah pemilihan CLPR ditetapkan berdasarkan nomor urut dalam daftar calon yang diajukan partai politik yang mendapat kursi, sementara untuk daerah pemilihan FPTP diberikan kepada calon yang menang (memperoleh suara terbanyak).
Sistem pemilu hybrid (Indonesia : baca ‘hibrida’) seperti ini telah sukses diterapkan dengan beberapa pengaturan khusus di beberapa negara seperti Jerman, New Zaeland (disebut sistem Mix Member Proportional/MMP), Taiwan, Korea Selatan, Rusia (disebut sistem Mix Member Majoritarian/ MMM) dan beberapa negara lainnya. Tentu semua ini dapat diterapkan di Indonesia, tergantung pada hasil pengkajian dan cara pandang para pembuat undang-undang, dalam hal ini para anggota DPR sebagai wakil rakyat yang terhormat, karena tulisan ini hanyalah merupakan hasil kajian penulis sendiri yang berkeyakinan bahwa inilah sistem pemilu yang ideal diterapkan dalam Pemilu Legislatif di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan telah dan akan ada pihak-pihak lain yang pernah/akan merekomendasikan hal yang sama dengan penulis.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

MANAJEMEN PEMILIHAN KEPALA DAERAH : EFISIENSI VS EFEKTIFITAS



Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian Media Sultra, Senin 5 Maret 2012, Nomor 2333/Tahun IX

Salah satu subkajian pemilihan umum (termasuk pemilihan kepala daerah) adalah subkajian electoral management, atau management for electoral processes, yang mengkaji manajemen penyelenggaraan setiap tahapan pemilihan umum, mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan sampai dengan tahapan penyelesaian. Dalam kaitan dengan itu, Undang-Undang (UU 32/2004 dan UU 15/2011) telah memberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum (termasuk di daerah) untuk melakukan pengelolaan proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuai dengan tingkatannya. Dalam mengelola penyelenggaraan pilkada tersebut, KPU di daerah (baca : KPU provinsi/kabupaten/kota sesuai tingkatannya) pada dasarnya memiliki tugas dan wewenang yang mencakup 2 (dua) kategori besar, yaitu pertama, pengelolaan proses penyelenggaraan pilkada (electoral governance); dan kedua, pengelolaan sistem pendukung penyelenggaraan pilkada (electoral supporting system).
Ruang lingkup pelaksanaan tugas electoral governance meliputi penyelenggaraan seluruh tahapan pilkada. Pasal 65 ayat (3) UU 32/2004 telah menentukan bahwa tahapan pelaksanaan pilkada meliputi : (i) penetapan daftar pemilih; (ii) pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah; (iii) kampanye; (iv) pemungutan suara; (v) penghitungan suara; dan (vi) penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Tahapan-tahapan ini direncanakan, dilaksanakan, dan dikelola sedemikian rupa secara demokratis, yang sasaran utamanya adalah terpilihnya pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Tahapan ini harus dilaksanakan secara apik dan runut, artinya bahwa harus terstruktur, tahapan yang satu tidak dapat dilaksanakan bila tahapan sebelumnya belum terlaksana. Misalnya, tahapan kampanye tidak dapat dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran dan penetapan calon belum selesai, atau tahapan pemungutan suara tidak dapat dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran pemilih, tahapan penetapan calon, dan tahapan kampanye belum selesai dilaksanakan, dan seterusnya. Artinya bahwa dimensi waktu dan sifat sekuensial dalam pelaksanaan tahapan pilkada merupakan hal yang sangat penting, atau dengan kata lain tahapan-tahapan tersebut adalah merupakan satu kesatuan penyelenggaraan pilkada yang tidak dapat dibolak-balik/ditukar jadwal dan waktu pelaksanaannya.
Sementara ruang lingkup pelaksanaan tugas electoral supporting system, meliputi pengelolaan terhadap sistem pendukung, yakni : (i) organisasi personil badan penyelenggara dan panitia pelaksana pilkada; (ii) sistem dan jumlah anggaran yang memadai; (iii) sistem pengadaan, pendistribusian dan jumlah logistik yang sesuai dan memadai; dan (iv) sistem dokumentasi dan informasi yang sesuai. Keempat faktor pendukung ini bukan saja jenisnya harus memenuhi syarat dan jumlahnya memadai menurut Undang-Undang, tetapi ketersediaannya harus konsekuen dan bersesuaian dengan tahapan, program, dan jadwal sebagaimana pengelolaan electoral governance tersebut di atas. Misalnya saja personil Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, bukan saja harus memenuhi syarat dan jumlahnya cukup di semua desa/kelurahan, tetapi pembentukannya harus dilaksanakan sebelum tahapan pendaftaran pemilih dimulai, karena PPS harus mengangkat Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang akan memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dari pemerintah daerah, atau misalkan saja anggaran bukan saja harus sudah ditetapkan dengan sistem yang benar dan jumlah yang memadai, tetapi juga harus dicairkan sesuai dengan tahapan pilkada yang telah ditetapkan, dan pencairan selanjutnya tidak menghambat tahapan selanjutnya. Sehingga dengan demikian, terhambatnya pengelolaan sistem pendukung ini sudah tentu akan menghambat pelaksanaan tugas electoral governance tersebut di atas, dan sudah pasti tahapan penyelenggaraan pilkada akan tertunda.
Tugas yang pertama tidak mungkin dapat terlaksana bila tidak dibarengi dengan ketersediaan sistem pendukung yang memadai, sehingga keduanya harus berjalan beriringan agar sasaran yang dituju dapat tercapai. Namun ternyata fakta menunjukkan hal yang agak berbeda dari maksud baik tersebut bila ditinjau dari sudut pandang penilaian publik (awam) atas efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya.
Penilaian atas pelaksanaan tugas electoral governance, ditentukan oleh efektifitas pelaksanaan tahapan yang sudah ditetapkan, yakni seberapa konsekuen tahapan tersebut dilaksanakan, seberapa baik kualitas dan ketepatan waktu pelaksanaannya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Publik akan menilai bahwa penyelenggara tidak berhasil apabila tahapan pilkada tidak dilaksanakan tepat waktu atau tidak konsekuen. Di sisi lain, penilaian atas pengelolaan supporting system ditentukan oleh efisiensi penggunaannya, yakni seberapa minimum menggunakan personel, seberapa hemat menggunakan anggaran, logistik, dan dokumentasi data pilkada. Publik ternyata memberikan penilaian berdasarkan prinsip ekonomi, mengharapkan hasil yang seefektif mungkin dengan menggunakan sistem pendukung seefisien mungkin. Dari fenomena ini, beberapa pertanyaan yang harus dijawab secara bijak perlu dikemukakan, antara lain : Apakah tepat bila surat suara pilkada dicetak hitam putih dengan ukuran minimal,  kartu pemilih ditiadakan, formulir pendaftaran pemilih dan penghitungan suara dikurangi sebagian, formulir verifikasi dukungan calon perseorangan ditiadakan, bahan sosialisasi ditiadakan, demi efisiensi ? ; Apakah tepat bila personel KPPS, PPDP, PPS, dan PPK yang bertugas memutakhirkan data pemilih, memverifikasi dukungan calon perseorangan, melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara, mensosialisasikan pelaksanaan Pilkada di tingkat bawah, dan mendistribusikan logistik pilkada yang jangka waktunya telah diatur Undang-Undang digaji dengan honor jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR) atau dipotong masa jabatannya demi efisiensi ? ; Apakah tepat bila penyelenggara pilkada tidak perlu mendokumentasikan data pilkada di tengah tuntutan publik yang haus informasi tentang proses penyelenggaraan pilkada, demi efisiensi ?; lebih krusial lagi kalau kemudian kita mempertanyakan seberapa pentingkah pelaksanaan Pilkada dibanding pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, jembatan, dan sarana/prasarana lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan lebih fair kalau penulis menyajikan contoh kasus dan data-data dalam perencanaan pelaksanaan Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah menimbulkan persepsi beragam akibat debat kusir yang tidak dilandasi basis argumentasi yang tepat terutama pendapat yang membandingkan anggaran Pemilu Gubernur Tahun 2007 dan Tahun 2012 yang dikemukakan oleh (yang katanya) tokoh yang paham ilmu kepemiluan. Untuk menguji akurasi pendapat tersebut, informasi berikut dapat dijadikan referensi untuk mengujinya : Pertama, Personel organisasi pelaksana pemilu mengalami peningkatan jumlah yang sangat signifikan akibat pemekaran wilayah administratif, yakni penambahan 2 kabupaten/kota, penambahan 92 kecamatan, penambahan 225 desa/kelurahan, dan penambahan 714 TPS; Kedua, Penambahan jenis personel baru pelaksana pilkada, yaitu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) pada 4.629 TPS akibat perubahan regulasi/pengaturan Pilkada; Ketiga, Peningkatan honorarium PPK, PPS, dan KPPS akibat penambahan beban kerja dan perubahan regulasi; Keempat, penambahan jenis logistik akibat perubahan regulasi dengan berlakunya ketentuan membolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada dan penambahan logistik DPS/DPT yang diakibatkan oleh diwajibkannya PPS memberikan salinan DPS/DPT kepada perwakilan peserta pilkada di tingkat desa/kelurahan; Kelima, penambahan item biaya operasional verifikasi PPS dan PPK akibat penambahan kewenangan verifikasi faktual terhadap dukungan calon perseorangan; Keenam, Peningkatan biaya pendistribusian logistik dari KPU Provinsi ke 12 KPU Kabupaten/Kota, dari 12 KPU Kabupaten/Kota ke 209 kecamatan, dari 209 kecamatan ke 2.136 desa/kelurahan, dan selanjutnya ke 4.629 TPS pulang pergi; dan Ketujuh, Inflasi harga logistik pemilu 4 tahun terakhir.
Dari informasi ini, masih tepat dan relevankah kita menilai sesuatu dengan menggunakan parameter yang berbeda, tanpa mempertimbangkan dan mengabaikan dinamika perkembangan wilayah, jumlah pemilih, perubahan regulasi, penambahan jumlah dan jenis logistik, dan inflasi harga dalam kurun waktu yang relatif tidak singkat?. Tentunya publik sudah dapat mengambil kesimpulan tepat tidaknya pendapat yang membandingkan anggaran Pilgub 2007 dan Pilgub 2012, tanpa merinci secara detail parameter apa yang dipergunakan untuk membuat perbandingan, dan basis argumentasi apa yang mendasari pernyataannya.
Sebagai penyelenggara yang baik, apa pun alasannya harus membuat pilihan, mana yang menjadi prioritas dalam merencanakan  Pilkada, efektivitas penyelenggaraan ataukah efisiensi pembiayaan dengan mengurangi/menghilangkan roh Pilkada itu sendiri. Penulis sependapat dengan Ramlan Surbakti, dkk (2008) bahwa yang menjadi prioritas adalah pencapaian tujuan penyelenggaraan Pilkada (efektifitas), meskipun yang efektif tidak selalu efisien, karena pelaksanaan tugas electoral supporting system tidak hanya dinilai dari segi efisiensinya, tetapi juga dukungannya bagi pencapaian tujuan pelaksanaan tugas electoral governance. Sebagai tambahan deskripsi, misalkan saja untuk meningkatkan partisipasi pemilih, agar menjamin pemilih menyadari dan berminat menggunakan hak pilihnya dalam pilkada sehingga bersedia mengecek namanya dalam DPS, mengikuti kampanye berbagai pasangan calon, berdiskusi dengan teman mengenai pilkada, bertanya kepada PPS bila belum menerima undangan memberikan suara, dan datang ke TPS untuk memberikan suara, akan diperlukan program sosialisasi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada dan semua aparatnya pada semua tingkatan dengan berbagai metode, yang tentunya semua itu dapat dilaksanakan bila didukung oleh anggaran, logistik, dan personil pelaksana yang memadai. Karenanya, walaupun efisiensi sangat penting dalam pelaksanaan sistem pendukung, namun pencapaian tujuan penyelenggaraan pilkada seringkali memerlukan sistem pendukung yang kurang efisien.
Perbedaan sudut pandang atas pilihan prioritas mana yang lebih diutamakan inilah yang menyebabkan perbedaan persepsi antara penyelenggara pilkada sebagai pengelola anggaran dan pemerintah daerah dan DPRD sebagai institusi yang berwenang menetapkan anggaran. Dalam praktik yang terjadi selama ini, seakan-akan tahapan yang bergantung pada anggaran, sehingga persepsi ini digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk ‘mengatur’ penyelenggara pilkada dalam menetapkan tahapan pelaksanaan pilkada. Penyelenggara pilkada kemudian terkesan ‘memohon’ kepada pihak-pihak berkepentingan agar memenuhi ketersediaan anggaran untuk melaksanakan tahapan penyelenggaraan pilkada. Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ‘politisasi anggaran’. Padahal ketentuan pasal 116 ayat (5) UU 15/2011 menegaskan bahwa Pendanaan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota wajib dianggarkan dalam APBD. Kata ‘wajib’ disini mengisyaratkan adanya ‘hak’ di pihak yang lain, sehingga sudah seyogiyanya bahwa ternyata anggaran lah yang bergantung pada tahapan pilkada, bukan sebaliknya. Semoga penyelenggaraan pilkada di masa yang akan datang semakin berkualitas, baik dari segi electoral governance-nya maupun electoral supporting system-nya.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

GAGASAN PEMILU EKSEKUTIF SERENTAK DAN AMANDEMEN KONSTITUSI



Oleh : Bosman*
Publikasi : Harian Kendari Ekspress, 12 Januari 2010

Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang di dasarkan pada pilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Pada era modern ini, pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktivitas yang dilakukan semakin beragam menjadikan kompleksitas persoalan yang dihadapi rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk memilih wakilnya. Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Bahkan tidak ada satupun Negara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu sekalipun Negara itu pada hakikatnya otoriter. Ketiga,pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari pemilu, dan pemilu menjadi suatu cara untuk memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pemilu merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dihindari, dan bila ada ide untuk menghapuskan pemilu, sudah pasti akan mendapatkan banyak tantangan dan hampir pasti akan di cap sebagai suatu kemunduran demokrasi.

Sejak runtuhnya rezim Soeharto dengan Orde Baru-nya, republik ini telah menyelenggarakan pemilu 1999, pemilu 2004, dan pemilu 2009. Selama ini, Pemilu dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (termasuk DPD untuk Pemilu 2004 dan 2009), yang berarti bahwa kita telah berhasil melaksanakan Pemilu serentak untuk memilih anggota parlemen, baik parlemen pusat (DPR dan DPD) maupun parlemen daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) pada hari yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengisian jabatan-jabatan legislatif pusat dan daerah telah terlaksana dengan baik dilihat dari sisi efektifitas, karena dapat dilakukan secara serentak.

Sementara, untuk pengisian jabatan-jabatan politik di eksekutif, tampaknya perlu pembenahan dalam pencapaian efektifitas sebagaimana pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan legislatif tersebut di atas. Pemilu presiden dan Wakil Presiden (eksekutif pusat) telah dilaksanakan secara serentak pada dua kali pemilu sebelumnya, yakni pada pemilu 2004 dan pemilu 2009. Namun, sayangnya Pemilu untuk mengisi jabatan politik eksekutif pusat (kepala Negara dan wakilnya) tidak bersamaan dengan pemilu untuk memilih jabatan politik eksekutif daerah (kepala daerah dan wakilnya). Realitas yang terjadi adalah bahwa pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (eksekutif daerah) sangat variatif tanggal dan waktu pelaksanaannya untuk setiap daerah. Pembiayaan untuk pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota paling tidak menghabiskan anggaran rata-rata 7,5 Milyar rupiah per kabupaten/kota yang artinya kalau jumlah kabupaten/kota 500-an kabupaten/kota, maka secara keseluruhan akan menghabiskan dana sebesar 7,5 Milyar x 500 kab/kota = 3,75 Trilyun rupiah, dan bila pemilu gubernur/wakil gubernur dilaksanakan tidak serentak dengan pemilu bupati/wakil bupati, maka akan ada penambahan pembiayaan sebesar (2 per 3 x 7,5 Milyar x 500 kab/kota)+(1 per 3 x 7,5 Milyar x 33 provinsi)[1] = 2,5 Trilyun + 82,5 Milyar = 2,51 Trilyun, yang berarti total untuk membiayai pemilu kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota sebesar 6,26 Trilyun. Bila pemilu untuk mengisi jabatan politik di eksekutif (pusat dan daerah) diserentakkan, maka paling tidak akan terjadi penghematan pada pembiayaan belanja pegawai dan penggandaan DPT sebesar 5 Trilyun Rupiah, dan dana sebesar ini masih bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan daerah lainnya.

Dari realitas tersebut di atas, wacana tentang pelaksanaan pemilu kepala daerah secara serentak perlu didukung dan ditindaklanjuti dengan menata kembali peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemilu kepala daerah, termasuk pengaturan terhadap implikasi pelaksanaannya. Kelihatannya cukup sederhana dalam menata peraturan perundang-undangan untuk maksud menyerentakkan pelaksanaan pemilu eksekutif (kepala negara, kepala daerah provinsi/kabupaten/kota), namun perlu ditelaah lebih komprehensif lagi bagaimana memulainya, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan kita.

Beberapa Masalah Yuridis
Pelaksanaan Pemilihan Umum berlandaskan pada ketentuan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (hasil 4 kali amandemen), yang antara lain dalam ayat (1) dinyatakan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, dan ayat (2) dinyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini mengandung arti bahwa seluruh lembaga legislatif pusat dan daerah (DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) dan lembaga eksekutif pusat (presiden dan wakil presiden) harus dipilih melalui pemilu dengan asas sebagaimana ayat (1) pasal 22E tersebut di atas. Dalam pasal ini tidak mengisyaratkan eksekutif daerah (kepala daerah provinsi/kabupaten/kota) harus dipilih dengan asas pemilu tersebut. Sehingga tidak salah bila kemudian beberapa kalangan menyebut bahwa pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota dan wakilnya) bukan merupakan rezim pemilihan umum.

Bila ditelaah lebih lanjut, ada ketidakkonsistenan pengaturan tentang mekanisme pemilihan terhadap lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif (pusat dan daerah) tersebut. Hal ini dapat ditelusuri pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur lembaga-lembaga tersebut, yaitu : (i) pada Bab III (Kekuasaan Pemerintahan Negara) pasal 6A ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (ii) pada Bab VII (Dewan Perwakilan Rakyat) pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum; (iii) pada Bab VIIA (Dewan Perwakilan Daerah) pasal 22C ayat (1) dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap propinsi melalui pemilihan umum; dan (iv) pada Bab VI (Pemerintahan Daerah) pasal 18 ayat (3) dinyatakan bahwa Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, serta pasal 18 ayat (4) dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Apabila diklasifikasi, ada penggunaan 3 frase yang berbeda untuk mekanisme pemilihan lembaga-lembaga tersebut, yaitu frase “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, frase “dipilih melalui pemilihan umum” dan frase “dipilih secara demokratis”. Penggunaan frase “dipilih melalui pemilihan umum” digunakan untuk mekanisme pemilihan anggota lembaga legislatif baik pusat maupun daerah (DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota), sementara untuk mekanisme pemilihan eksekutif pusat (presiden dan wakil presiden) menggunakan frase “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, serta yang lebih unik lagi mekanisme pemilihan eksekutif daerah (gubernur/bupati/walikota dan wakilnya) menggunakan frase “dipilih secara demokratis”. Frase pertama dan kedua memiliki kemiripan arti, dan telah diperjelas dengan ketentuan pasal 22E ayat (2) sebagaimana tersebut di atas. Dari uraian tersebut di atas, maka yang perlu dipersoalkan adalah mekanisme pemilihan eksekutif daerah yang masih multitafsir dengan penggunaan frase “dipilih secara demokratis”. Sehingga sebelum menyelesaikan revisi terhadap Undang-Undang No.32 Tahun 2004 (yang telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2008) yang didalamnya mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah dan Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka terlebih dahulu harus menyelesaikan permasalahan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut.

Beberapa Pilihan Perubahan Konstitusi dan Regulasi Pemilu
Merubah konstitusi bukanlah hal yang mudah, namun sesungguhnya tidaklah sulit. Perubahan terhadap konstitusi UUD cukup diajukan oleh minimal satu per tiga dari jumlah anggota MPR (Pasal 37 ayat (1) UUD 1945), yang berarti harus diajukan oleh paling tidak 231 orang anggota DPR dan/atau DPD yang diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya (Pasal 37 ayat (2) UUD 1945). Dengan beberapa alasan dan pertimbangan tersebut di atas dirasa perlu untuk segera merubah konstitusi yang khusus mengatur masalah pemilu, disamping yang mengatur masalah lainnya. Bila pilihan kita harus merubah konstitusi, maka sebagai anak bangsa yang peduli demokrasi dan pemilu, kiranya tidak salah bila kemudian memberikan masukan-masukan untuk sebuah wacana perubahan tersebut.

Terkait hal-hal tersebut di atas, maka pasal-pasal yang perlu dirubah dan dikonstruksi adalah :
Pertama, pasal 18 ayat (4) dengan cara menghapus frase “dipilih secara demokratis” maka lengkapnya akan berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota. Selanjutnya, disisipkan tambahan ayat yang sinkron dengan ketentuan pasal 4 ayat (2), sehingga ayat tambahan tersebut berbunyi Dalam melakukan kewajibannya kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota masing-masing dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota. Berikutnya ditambahkan satu ayat lagi mengenai mekanisme pemilihannya yang disinkronkan dengan ketentuan pasal 6A ayat (1), sehingga berbunyi  Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota masing-masing dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pilihan ini adalah pilihan yang rasional untuk mengkonsistenkan mekanisme pengisian jabatan eksekutif daerah dengan eksekutif pusat.
Kedua, sebagai akibat dari perubahan pasal 18, maka automatically akan merubah ketentuan pasal 22E ayat (2) dengan menambahkan kata-kata Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota sehingga selengkapnya berbunyi Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota.

Setelah perubahan ketentuan tersebut dilakukan, barulah kemudian melakukan pembenahan terhadap regulasi pemilu, yakni undang-undang yang mengatur masalah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif), undang-undang yang mengatur masalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Eksekutif), dan undang-undang yang mengatur masalah penyelenggara pemilu, yang keseluruhannya disebut sebagai paket undang-undang pemilihan umum.

Dari uraian-uraian di atas, maka selayaknya kita sudah dapat memberi jawaban atas pertanyaan perlukah perubahan konstitusi dan/atau regulasi pemilu, semua kita serahkan kepada pembuat undang-undang, wakil rakyat dan daerah seraya memberikan dukungan dan masukan-masukan positif guna membangun regulasi pemilu yang lebih baik lagi.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara


[1] 2/3 dari total pembiayaan Pemilukada adalah belanja pegawai dan operasional pelaksana pemilu di kabupaten/kota, PPK, PPS, PPDP, dan KPPS, sedangkan 1/3 nya adalah belanja pengadaan barang dan jasa.