LABEL

Selasa, 28 Oktober 2014

HAK PREROGATIF

Dipublikasi pada Kendari Pos, edisi Selasa, 28 Oktober 2014


Oleh : BOSMAN, S.Si, SH, MH
(Dosen Pengajar HTN Fak Hukum Unsultra)


Suatu saat penulis mendengar perbincangan beberapa orang yang belakangan saya ketahui adalah pejabat yang baru dilantik, sekaligus pendukung Kepala Daerah di suatu daerah tertentu yang baru saja melakukan pergantian besar-besaran para pejabatnya, yang kutipannya antara lain : “……. terserah dia mau rombak semua atau tidak itu terserah dia, Toh, itu kan hak prerogatif Bupati….”. Dari proses mendengar tersebut dan terlebih lagi banyak komentar tentang hak prerogatif yang belakangan ini menjadi ramai dibicarakan, rasanya telah menjadi motivasi dan alasan tersendiri bagi penulis membuat opini ini dengan harapan agar penempatannya tidak salah dan menjadi tidak bias dalam pemaknaannya.

Prerogatif (Latin: praerogatio, Inggris : prerogative, Jerman : das vorrecht) yang diartikan sebagai hak khusus atau hak istimewa yang melekat pada seseorang/kelompok orang di luar dari hak-hak yang menurut hukum berlaku. Hal ini mengandung pengertian bahwa hak prerogatif tidak termuat dalam suatu peraturan negara/konstitusi, sehingga hak tersebut benar-benar sangat istimewa. Karena tidak termuat dalam peraturan negara, maka hak tersebut dianggap sebagai hak sisa (residu) dari keseluruhan hak-hak yang telah termuat dalam peraturan negara, sehingga hak prerogatif ini biasa disebut sebagai residual power. Pengertian tersebut dapat dianggap benar di negara asalnya di Inggris dan dapat dipahami, karena sejarah ketatanegaraan Inggris yang telah memberikan hak-hak istimewa (prerogative) pada Raja/Ratu yang kemudian berangsur-angsur berpindah kepada parlemen sejak penandatanganan Magna Charta (1215) sampai dengan pengundangan Statue of Westwinter 1931. Selain itu juga Inggris sampai sekarang pun tidak memiliki Konstitusi tertulis.

Pengertian residual power tersebut menjadi tidak berlaku bila diterapkan di Amerika, karena  menurut Thomas Jefferson (salah satu penyusun Konstitusi Amerika) prerogatif di Amerika justru dimaknai sebagai hak atau previlege yang tidak dipunyai oleh lembaga lain, dan langsung diberikan oleh Konstitusi kepada suatu lembaga tertentu (power granted him directly by constitution), namun kesalahan presiden Amerika dalam menggunakan hak prerogatif tersebut dapat diuji/digugat pada Mahkamah Agung (MA) Amerika. Sebut saja, dalam kasus Youngstown Sheet and Tube Company vs Sawyer (1952) pernah memutuskan dengan menyatakan bahwa penggunaan hak prerogatif oleh Presiden Truman untuk mengambil alih pabrik baja tempa melalui persetujuan kongres adalah tidak konstitusional. Hal ini menunjukkan bahwa dalam praktik ketatanegaraan di Amerika, ternyata hak prerogatif Presiden dapat digugat pada lembaga yudisial (baca : pengadilan).

Dalam perkembangan selanjutnya, dimana konsep demokrasi dan konsep negara hukum berkembang pesat, secara umum hak prerogatif dapat dimaknai sebagai hak istimewa yang dimiliki lembaga-lembaga negara tertentu yang dalam menggunakannya bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara lainnya. Pengertian inilah kira-kira yang tepat digunakan untuk menggambarkan prerogatif presiden dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Meskipun tidak disebutkan satu kata pun tentang hak prerogatif dalam UUD 1945, namun kita dapat menelusuri dan menginterpretasikan pasal-pasal yang mengatur kekuasaan presiden. Dalam penelusuran tersebut, paling tidak kita dapat membagi kekuasaan presiden atas 3(tiga) kategori, yaitu Pertama, kekuasaan yang mandiri, yakni kekuasaan yang mekanisme pelaksanaannya tidak diatur secara jelas sehingga memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, yaitu : (i) Pasal 10, Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; dan (ii) Pasal 17 (2), Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri. Kedua, kekuasaan semi mandiri, yaitu kekuasaan presiden yang membutuhkan konsultasi/ pertimbangan yang tidak mengikat dalam pelaksanaannya, yakni : (i) Pasal 13, menerima penempatan duta negara lain, mengangkat duta dan konsul; dan (ii) Pasal 14, memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi. Ketiga, kekuasaan yang tidak mandiri, yaitu kekuasaan presiden yang membutuhkan persetujuan dari lembaga negara lainnya atau kekuasaan yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang, yaitu : (i) Pasal 4(1) memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD; (ii) Pasal 5(1) mengajukan RUU; (iii) Pasal 5(2) menetapkan PP untuk menjalankan UU; (iv) Pasal 11(1) menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; (v) Pasal 11(2) membuat perjanjian internasional lainnya; (vi) Pasal 12, menyatakan keadaan bahaya; (vii) Pasal 15, memberi gelar tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya; (viii) Pasal 16, membentuk Wantimpres; (ix) Pasal 20(2) ikut membahas dan menyetujui RUU; (x) Pasal 20(4), mengesahkan RUU menjadi UU; (xi) Pasal 22, menetapkan Perppu dlm hal ihwal kegentingan yang memaksa; (xii) Pasal 23(2), mengajukan RUUAPBN; (xiii) Pasal 23F, meresmikan keanggotaan BPK; (xiv) Pasal 24A, menetapkan hakim Agung; (xv) Pasal 24B, mengangkat dan memberhentikan anggota KY; dan (xvi) Pasal 24C, menetapkan 9 orang hakim konstitusi dan mengajukan 3 orang diantaranya.

Dari penelusuran tersebut, ternyata kekuasaan presiden yang mandiri hanya 2 (dua) jenis, yaitu kekuasaan atas TNI dan kekuasaan atas pengangkatan dan pemberhentian menteri. Kedua kekuasaan ini tidak diatur secara jelas bagaimana kekuasaan tersebut dijalankan, sehingga presiden benar-benar diberikan kebebasan untuk menafsirkan pelaksanaan kekuasaan tersebut. Selanjutnya, terdapat 2 (dua) kekuasaan presiden yang semi mandiri yang dalam pelaksanaannya dikonsultasikan dengan lembaga negara lainnya. Kekuasaan tersebut menyangkut penerimaan atas penempatan duta negara lain, pengangkatan duta dan konsul, pemberian amnesti dan abolisi yang dalam pelaksanaannya dengan memperhatikan pertimbangan DPR serta pemberian grasi dan rehabilitasi yang pelaksanaannya memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Khusus 2 (dua) jenis kekuasaan mandiri presiden tersebut di atas, karena tidak jelasnya pelaksanaan kekuasaan tersebut, maka apapun yang dilakukan oleh presiden tentang kekuasaan tersebut tidak dapat diuji/digugat di lembaga yudisial sebagaimana yang terjadi di Amerika. Sementara untuk kekuasaan semi mandiri presiden, meskipun dalam pelaksanaannya dikonsultasikan dengan DPR atau MA, namun pertimbangan tersebut tidaklah dapat membatasi/mengikat kekuasaan presiden dalam pelaksanaannya.

Dari uraian tersebut, maka dalam ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan presiden yang mandiri dan semi mendiri dapat dikategori sebagai hak prerogatif presiden, hal ini dikuatkan dengan penyebutan secara tegas tentang hak prerogatif presiden dalam UU No 22/2002 tentang Grasi yang dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa “pemberian grasi bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif presiden untuk memberikan ampunan”. Hal ini telah bersesuaian dengan pendapat bahwa hak prerogatif adalah hak istimewa yang diberikan secara langsung oleh konstitusi kepada suatu lembaga negara yang pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada lembaga negara tersebut.

Sehubungan dengan pelaksanaan kekuasaan presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri yang sekarang menjadi topik hangat hampir semua media berkaitan dengan pembentukan kabinet dalam pemerintahan Presiden Ir Joko Widodo dan Drs HM Jusuf Kalla, penulis berpendapat bahwa pelaksanaannya baik cara merekrut maupun kualifikasinya semua menjadi wewenang sepenuhnya presiden. Bahwa kemudian ada segelintir pengamat yang berpendapat bahwa penyusunan kabinet tersebut tidak lagi mandiri karena telah melibatkan/diintervensi oleh KPK dan PPATK tidaklah sepenuhnya benar, karena pada prinsipnya hal tersebut adalah bagian dari cara presiden melaksanakan hak prerogatif tersebut untuk memenuhi selera postur pemerintahan yang diinginkannya. Bahkan andaikanpun benar presiden memasukkan beberapa tokoh parpol dalam kabinetnya akibat usulan partai politik pendukungnya, tidaklah dapat dimaknai sebagai intervensi terhadap presiden dalam melaksanakan hak prerogatif tersebut. Bahwa kemudian ada pendapat agar presiden tidak perlu meminta pendapat DPR dalam mengubah nomenklatur kementerian, meski ada benarnya namun tidaklah bijaksana, selain karena diatur dalam UU Kementerian Negara, juga hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga etika ketatanegaraan dan hubungan baik antara presiden dan DPR guna menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan, terlepas dari apakah presiden mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan pendapat DPR tersebut.

Dengan demikian, maka kata-kata pejabat yang menyebut “hak prerogatif bupati” di awal tulisan ini tidaklah tepat, meskipun Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Desa sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat, namun caranya memperoleh kewenangan sangatlah berbeda. Presiden melaksanakan kewenangan yang diamanahkan konstitusi, sementara kepala daerah dan kepala desa memperoleh kewenangan dengan cara atribusi maupun delegasi dari peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi, selain itu Presiden adalah lembaga negara sedangkan kepala daerah adalah salah satu organ pemerintahan sehingga tindakan hukum (rechtshandelingen) presiden akibat pelaksanaan hak prerogatif tidak dapat digugat di pengadilan, sementara seluruh tindakan hukum yang dilakukan kepala daerah dapat digugat di pengadilan.