Oleh : Bosman*
Publikasi : Harian
Kendari Ekspress, 12 Januari 2010
Pemilu adalah arena kompetisi untuk
mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang di dasarkan pada pilihan
formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Pada era modern ini, pemilu
menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme
terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme
tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan
masyarakat yang pesat, jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktivitas yang
dilakukan semakin beragam menjadikan kompleksitas persoalan yang dihadapi
rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk
berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka
hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai
keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk memilih wakilnya. Kedua, pemilu menjadi indikator negara
demokrasi. Bahkan tidak ada satupun Negara yang mengklaim dirinya demokratis
tanpa melaksanakan pemilu sekalipun Negara itu pada hakikatnya otoriter. Ketiga,pemilu penting dibicarakan juga
terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari pemilu, dan pemilu menjadi
suatu cara untuk memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. Sehingga
berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pemilu merupakan sesuatu yang
niscaya dan tidak dapat dihindari, dan bila ada ide untuk menghapuskan pemilu,
sudah pasti akan mendapatkan banyak tantangan dan hampir pasti akan di cap
sebagai suatu kemunduran demokrasi.
Sejak runtuhnya rezim Soeharto
dengan Orde Baru-nya, republik ini telah menyelenggarakan pemilu 1999, pemilu
2004, dan pemilu 2009. Selama ini, Pemilu dilaksanakan secara serentak di
seluruh Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota (termasuk DPD untuk Pemilu 2004 dan 2009), yang berarti bahwa
kita telah berhasil melaksanakan Pemilu serentak untuk memilih anggota
parlemen, baik parlemen pusat (DPR dan DPD) maupun parlemen daerah (DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota) pada hari yang sama. Hal ini menunjukkan
bahwa pada pengisian jabatan-jabatan legislatif pusat dan daerah telah
terlaksana dengan baik dilihat dari sisi efektifitas, karena dapat dilakukan
secara serentak.
Sementara, untuk pengisian
jabatan-jabatan politik di eksekutif, tampaknya perlu pembenahan dalam
pencapaian efektifitas sebagaimana pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan
legislatif tersebut di atas. Pemilu presiden dan Wakil Presiden (eksekutif
pusat) telah dilaksanakan secara serentak pada dua kali pemilu sebelumnya,
yakni pada pemilu 2004 dan pemilu 2009. Namun, sayangnya Pemilu untuk mengisi
jabatan politik eksekutif pusat (kepala Negara dan wakilnya) tidak bersamaan
dengan pemilu untuk memilih jabatan politik eksekutif daerah (kepala daerah dan
wakilnya). Realitas yang terjadi adalah bahwa pemilu untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah (eksekutif daerah) sangat variatif tanggal dan
waktu pelaksanaannya untuk setiap daerah. Pembiayaan untuk pemilu kepala daerah
dan wakil kepala daerah kabupaten/kota paling tidak menghabiskan anggaran
rata-rata 7,5 Milyar rupiah per kabupaten/kota yang artinya kalau jumlah
kabupaten/kota 500-an kabupaten/kota, maka secara keseluruhan akan menghabiskan
dana sebesar 7,5 Milyar x 500 kab/kota = 3,75 Trilyun rupiah, dan bila pemilu
gubernur/wakil gubernur dilaksanakan tidak serentak dengan pemilu bupati/wakil
bupati, maka akan ada penambahan pembiayaan sebesar (2 per 3 x 7,5 Milyar x 500
kab/kota)+(1 per 3 x 7,5 Milyar x 33 provinsi)[1]
= 2,5 Trilyun + 82,5 Milyar = 2,51 Trilyun, yang berarti total untuk membiayai
pemilu kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota sebesar 6,26 Trilyun. Bila
pemilu untuk mengisi jabatan politik di eksekutif (pusat dan daerah)
diserentakkan, maka paling tidak akan terjadi penghematan pada pembiayaan
belanja pegawai dan penggandaan DPT sebesar 5 Trilyun Rupiah, dan dana sebesar
ini masih bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan daerah lainnya.
Dari realitas tersebut di atas,
wacana tentang pelaksanaan pemilu kepala daerah secara serentak perlu didukung
dan ditindaklanjuti dengan menata kembali peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah pemilu kepala daerah, termasuk pengaturan terhadap implikasi
pelaksanaannya. Kelihatannya cukup sederhana dalam menata peraturan perundang-undangan
untuk maksud menyerentakkan pelaksanaan pemilu eksekutif (kepala negara, kepala
daerah provinsi/kabupaten/kota), namun perlu ditelaah lebih komprehensif lagi
bagaimana memulainya, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam sistem
ketatanegaraan kita.
Beberapa Masalah Yuridis
Pelaksanaan Pemilihan Umum
berlandaskan pada ketentuan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (hasil 4 kali
amandemen), yang antara lain dalam ayat (1) dinyatakan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung,umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,
dan ayat (2) dinyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini mengandung arti
bahwa seluruh lembaga legislatif pusat dan daerah (DPR, DPD, dan DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota) dan lembaga eksekutif pusat (presiden dan wakil
presiden) harus dipilih melalui pemilu dengan asas sebagaimana ayat (1) pasal
22E tersebut di atas. Dalam pasal ini tidak mengisyaratkan eksekutif daerah
(kepala daerah provinsi/kabupaten/kota) harus dipilih dengan asas pemilu
tersebut. Sehingga tidak salah bila kemudian beberapa kalangan menyebut bahwa
pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota dan wakilnya) bukan merupakan
rezim pemilihan umum.
Bila ditelaah lebih lanjut, ada
ketidakkonsistenan pengaturan tentang mekanisme pemilihan terhadap
lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif (pusat dan daerah) tersebut. Hal ini
dapat ditelusuri pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur lembaga-lembaga
tersebut, yaitu : (i) pada Bab III (Kekuasaan Pemerintahan
Negara) pasal 6A ayat (1) dinyatakan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat; (ii) pada Bab VII (Dewan Perwakilan Rakyat) pasal 19 ayat (1)
dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dipilih melalui pemilihan umum; (iii) pada Bab VIIA (Dewan
Perwakilan Daerah) pasal 22C ayat (1) dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap propinsi melalui
pemilihan umum; dan (iv) pada Bab VI (Pemerintahan Daerah) pasal 18 ayat
(3) dinyatakan bahwa Pemerintahan daerah
propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, serta pasal 18 ayat (4)
dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota
dipilih secara demokratis. Apabila diklasifikasi, ada penggunaan 3 frase
yang berbeda untuk mekanisme pemilihan lembaga-lembaga tersebut, yaitu frase “dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat”, frase “dipilih melalui
pemilihan umum” dan frase “dipilih
secara demokratis”. Penggunaan frase “dipilih
melalui pemilihan umum” digunakan untuk mekanisme pemilihan anggota lembaga
legislatif baik pusat maupun daerah (DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota),
sementara untuk mekanisme pemilihan eksekutif pusat (presiden dan wakil
presiden) menggunakan frase “dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, serta yang lebih unik
lagi mekanisme pemilihan eksekutif daerah (gubernur/bupati/walikota dan
wakilnya) menggunakan frase “dipilih
secara demokratis”. Frase pertama dan kedua memiliki kemiripan arti, dan
telah diperjelas dengan ketentuan pasal 22E ayat (2) sebagaimana tersebut di
atas. Dari uraian tersebut di atas, maka yang perlu dipersoalkan adalah
mekanisme pemilihan eksekutif daerah yang masih multitafsir dengan penggunaan
frase “dipilih secara demokratis”.
Sehingga sebelum menyelesaikan revisi terhadap Undang-Undang No.32 Tahun 2004
(yang telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2008) yang
didalamnya mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah dan Undang-Undang No.22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka terlebih dahulu harus menyelesaikan
permasalahan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut.
Beberapa Pilihan Perubahan
Konstitusi dan Regulasi Pemilu
Merubah konstitusi bukanlah hal yang
mudah, namun sesungguhnya tidaklah sulit. Perubahan terhadap konstitusi UUD
cukup diajukan oleh minimal satu per tiga dari jumlah anggota MPR (Pasal 37
ayat (1) UUD 1945), yang berarti harus diajukan oleh paling tidak 231 orang
anggota DPR dan/atau DPD yang diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan
jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya (Pasal 37 ayat (2)
UUD 1945). Dengan beberapa alasan dan pertimbangan tersebut di atas dirasa
perlu untuk segera merubah konstitusi yang khusus mengatur masalah pemilu,
disamping yang mengatur masalah lainnya. Bila pilihan kita harus merubah konstitusi,
maka sebagai anak bangsa yang peduli demokrasi dan pemilu, kiranya tidak salah
bila kemudian memberikan masukan-masukan untuk sebuah wacana perubahan
tersebut.
Terkait hal-hal tersebut di atas,
maka pasal-pasal yang perlu dirubah dan dikonstruksi adalah :
Pertama,
pasal 18 ayat (4) dengan cara menghapus frase “dipilih secara demokratis” maka lengkapnya akan berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota. Selanjutnya, disisipkan
tambahan ayat yang sinkron dengan ketentuan pasal 4 ayat (2), sehingga ayat
tambahan tersebut berbunyi Dalam
melakukan kewajibannya kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota masing-masing
dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota.
Berikutnya ditambahkan satu ayat lagi mengenai mekanisme pemilihannya yang
disinkronkan dengan ketentuan pasal 6A ayat (1), sehingga berbunyi Kepala
daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota masing-masing dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat. Pilihan ini adalah pilihan yang rasional untuk
mengkonsistenkan mekanisme pengisian jabatan eksekutif daerah dengan eksekutif
pusat.
Kedua,
sebagai akibat dari perubahan pasal 18, maka automatically akan merubah ketentuan pasal 22E ayat (2) dengan
menambahkan kata-kata Kepala daerah dan
wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota sehingga selengkapnya
berbunyi Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, serta Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten
dan kota.
Setelah perubahan ketentuan tersebut
dilakukan, barulah kemudian melakukan pembenahan terhadap regulasi pemilu,
yakni undang-undang yang mengatur masalah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu
Legislatif), undang-undang yang mengatur masalah Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Eksekutif), dan
undang-undang yang mengatur masalah penyelenggara pemilu, yang keseluruhannya
disebut sebagai paket undang-undang pemilihan umum.
Dari uraian-uraian di atas, maka
selayaknya kita sudah dapat memberi jawaban atas pertanyaan perlukah perubahan
konstitusi dan/atau regulasi pemilu, semua kita serahkan kepada pembuat
undang-undang, wakil rakyat dan daerah seraya memberikan dukungan dan
masukan-masukan positif guna membangun regulasi pemilu yang lebih baik lagi.
*Penulis, Anggota
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara
[1] 2/3 dari total pembiayaan Pemilukada adalah belanja
pegawai dan operasional pelaksana pemilu di kabupaten/kota, PPK, PPS, PPDP, dan
KPPS, sedangkan 1/3 nya adalah belanja pengadaan barang dan jasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar