LABEL

Sabtu, 07 April 2012

GAGASAN PEMILU EKSEKUTIF SERENTAK DAN AMANDEMEN KONSTITUSI



Oleh : Bosman*
Publikasi : Harian Kendari Ekspress, 12 Januari 2010

Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang di dasarkan pada pilihan formal dari warganegara yang memenuhi syarat. Pada era modern ini, pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktivitas yang dilakukan semakin beragam menjadikan kompleksitas persoalan yang dihadapi rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk memilih wakilnya. Kedua, pemilu menjadi indikator negara demokrasi. Bahkan tidak ada satupun Negara yang mengklaim dirinya demokratis tanpa melaksanakan pemilu sekalipun Negara itu pada hakikatnya otoriter. Ketiga,pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi-implikasi yang luas dari pemilu, dan pemilu menjadi suatu cara untuk memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pemilu merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dihindari, dan bila ada ide untuk menghapuskan pemilu, sudah pasti akan mendapatkan banyak tantangan dan hampir pasti akan di cap sebagai suatu kemunduran demokrasi.

Sejak runtuhnya rezim Soeharto dengan Orde Baru-nya, republik ini telah menyelenggarakan pemilu 1999, pemilu 2004, dan pemilu 2009. Selama ini, Pemilu dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (termasuk DPD untuk Pemilu 2004 dan 2009), yang berarti bahwa kita telah berhasil melaksanakan Pemilu serentak untuk memilih anggota parlemen, baik parlemen pusat (DPR dan DPD) maupun parlemen daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota) pada hari yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada pengisian jabatan-jabatan legislatif pusat dan daerah telah terlaksana dengan baik dilihat dari sisi efektifitas, karena dapat dilakukan secara serentak.

Sementara, untuk pengisian jabatan-jabatan politik di eksekutif, tampaknya perlu pembenahan dalam pencapaian efektifitas sebagaimana pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan legislatif tersebut di atas. Pemilu presiden dan Wakil Presiden (eksekutif pusat) telah dilaksanakan secara serentak pada dua kali pemilu sebelumnya, yakni pada pemilu 2004 dan pemilu 2009. Namun, sayangnya Pemilu untuk mengisi jabatan politik eksekutif pusat (kepala Negara dan wakilnya) tidak bersamaan dengan pemilu untuk memilih jabatan politik eksekutif daerah (kepala daerah dan wakilnya). Realitas yang terjadi adalah bahwa pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (eksekutif daerah) sangat variatif tanggal dan waktu pelaksanaannya untuk setiap daerah. Pembiayaan untuk pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota paling tidak menghabiskan anggaran rata-rata 7,5 Milyar rupiah per kabupaten/kota yang artinya kalau jumlah kabupaten/kota 500-an kabupaten/kota, maka secara keseluruhan akan menghabiskan dana sebesar 7,5 Milyar x 500 kab/kota = 3,75 Trilyun rupiah, dan bila pemilu gubernur/wakil gubernur dilaksanakan tidak serentak dengan pemilu bupati/wakil bupati, maka akan ada penambahan pembiayaan sebesar (2 per 3 x 7,5 Milyar x 500 kab/kota)+(1 per 3 x 7,5 Milyar x 33 provinsi)[1] = 2,5 Trilyun + 82,5 Milyar = 2,51 Trilyun, yang berarti total untuk membiayai pemilu kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota sebesar 6,26 Trilyun. Bila pemilu untuk mengisi jabatan politik di eksekutif (pusat dan daerah) diserentakkan, maka paling tidak akan terjadi penghematan pada pembiayaan belanja pegawai dan penggandaan DPT sebesar 5 Trilyun Rupiah, dan dana sebesar ini masih bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan daerah lainnya.

Dari realitas tersebut di atas, wacana tentang pelaksanaan pemilu kepala daerah secara serentak perlu didukung dan ditindaklanjuti dengan menata kembali peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemilu kepala daerah, termasuk pengaturan terhadap implikasi pelaksanaannya. Kelihatannya cukup sederhana dalam menata peraturan perundang-undangan untuk maksud menyerentakkan pelaksanaan pemilu eksekutif (kepala negara, kepala daerah provinsi/kabupaten/kota), namun perlu ditelaah lebih komprehensif lagi bagaimana memulainya, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan kita.

Beberapa Masalah Yuridis
Pelaksanaan Pemilihan Umum berlandaskan pada ketentuan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (hasil 4 kali amandemen), yang antara lain dalam ayat (1) dinyatakan bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, dan ayat (2) dinyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini mengandung arti bahwa seluruh lembaga legislatif pusat dan daerah (DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) dan lembaga eksekutif pusat (presiden dan wakil presiden) harus dipilih melalui pemilu dengan asas sebagaimana ayat (1) pasal 22E tersebut di atas. Dalam pasal ini tidak mengisyaratkan eksekutif daerah (kepala daerah provinsi/kabupaten/kota) harus dipilih dengan asas pemilu tersebut. Sehingga tidak salah bila kemudian beberapa kalangan menyebut bahwa pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota dan wakilnya) bukan merupakan rezim pemilihan umum.

Bila ditelaah lebih lanjut, ada ketidakkonsistenan pengaturan tentang mekanisme pemilihan terhadap lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif (pusat dan daerah) tersebut. Hal ini dapat ditelusuri pada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur lembaga-lembaga tersebut, yaitu : (i) pada Bab III (Kekuasaan Pemerintahan Negara) pasal 6A ayat (1) dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; (ii) pada Bab VII (Dewan Perwakilan Rakyat) pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum; (iii) pada Bab VIIA (Dewan Perwakilan Daerah) pasal 22C ayat (1) dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap propinsi melalui pemilihan umum; dan (iv) pada Bab VI (Pemerintahan Daerah) pasal 18 ayat (3) dinyatakan bahwa Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, serta pasal 18 ayat (4) dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Apabila diklasifikasi, ada penggunaan 3 frase yang berbeda untuk mekanisme pemilihan lembaga-lembaga tersebut, yaitu frase “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, frase “dipilih melalui pemilihan umum” dan frase “dipilih secara demokratis”. Penggunaan frase “dipilih melalui pemilihan umum” digunakan untuk mekanisme pemilihan anggota lembaga legislatif baik pusat maupun daerah (DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota), sementara untuk mekanisme pemilihan eksekutif pusat (presiden dan wakil presiden) menggunakan frase “dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, serta yang lebih unik lagi mekanisme pemilihan eksekutif daerah (gubernur/bupati/walikota dan wakilnya) menggunakan frase “dipilih secara demokratis”. Frase pertama dan kedua memiliki kemiripan arti, dan telah diperjelas dengan ketentuan pasal 22E ayat (2) sebagaimana tersebut di atas. Dari uraian tersebut di atas, maka yang perlu dipersoalkan adalah mekanisme pemilihan eksekutif daerah yang masih multitafsir dengan penggunaan frase “dipilih secara demokratis”. Sehingga sebelum menyelesaikan revisi terhadap Undang-Undang No.32 Tahun 2004 (yang telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang No.12 Tahun 2008) yang didalamnya mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah dan Undang-Undang No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka terlebih dahulu harus menyelesaikan permasalahan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut.

Beberapa Pilihan Perubahan Konstitusi dan Regulasi Pemilu
Merubah konstitusi bukanlah hal yang mudah, namun sesungguhnya tidaklah sulit. Perubahan terhadap konstitusi UUD cukup diajukan oleh minimal satu per tiga dari jumlah anggota MPR (Pasal 37 ayat (1) UUD 1945), yang berarti harus diajukan oleh paling tidak 231 orang anggota DPR dan/atau DPD yang diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya (Pasal 37 ayat (2) UUD 1945). Dengan beberapa alasan dan pertimbangan tersebut di atas dirasa perlu untuk segera merubah konstitusi yang khusus mengatur masalah pemilu, disamping yang mengatur masalah lainnya. Bila pilihan kita harus merubah konstitusi, maka sebagai anak bangsa yang peduli demokrasi dan pemilu, kiranya tidak salah bila kemudian memberikan masukan-masukan untuk sebuah wacana perubahan tersebut.

Terkait hal-hal tersebut di atas, maka pasal-pasal yang perlu dirubah dan dikonstruksi adalah :
Pertama, pasal 18 ayat (4) dengan cara menghapus frase “dipilih secara demokratis” maka lengkapnya akan berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota. Selanjutnya, disisipkan tambahan ayat yang sinkron dengan ketentuan pasal 4 ayat (2), sehingga ayat tambahan tersebut berbunyi Dalam melakukan kewajibannya kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota masing-masing dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota. Berikutnya ditambahkan satu ayat lagi mengenai mekanisme pemilihannya yang disinkronkan dengan ketentuan pasal 6A ayat (1), sehingga berbunyi  Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota masing-masing dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pilihan ini adalah pilihan yang rasional untuk mengkonsistenkan mekanisme pengisian jabatan eksekutif daerah dengan eksekutif pusat.
Kedua, sebagai akibat dari perubahan pasal 18, maka automatically akan merubah ketentuan pasal 22E ayat (2) dengan menambahkan kata-kata Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota sehingga selengkapnya berbunyi Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota.

Setelah perubahan ketentuan tersebut dilakukan, barulah kemudian melakukan pembenahan terhadap regulasi pemilu, yakni undang-undang yang mengatur masalah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif), undang-undang yang mengatur masalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Eksekutif), dan undang-undang yang mengatur masalah penyelenggara pemilu, yang keseluruhannya disebut sebagai paket undang-undang pemilihan umum.

Dari uraian-uraian di atas, maka selayaknya kita sudah dapat memberi jawaban atas pertanyaan perlukah perubahan konstitusi dan/atau regulasi pemilu, semua kita serahkan kepada pembuat undang-undang, wakil rakyat dan daerah seraya memberikan dukungan dan masukan-masukan positif guna membangun regulasi pemilu yang lebih baik lagi.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara


[1] 2/3 dari total pembiayaan Pemilukada adalah belanja pegawai dan operasional pelaksana pemilu di kabupaten/kota, PPK, PPS, PPDP, dan KPPS, sedangkan 1/3 nya adalah belanja pengadaan barang dan jasa.

Tidak ada komentar: