LABEL

Sabtu, 07 April 2012

MANAJEMEN PEMILIHAN KEPALA DAERAH : EFISIENSI VS EFEKTIFITAS



Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian Media Sultra, Senin 5 Maret 2012, Nomor 2333/Tahun IX

Salah satu subkajian pemilihan umum (termasuk pemilihan kepala daerah) adalah subkajian electoral management, atau management for electoral processes, yang mengkaji manajemen penyelenggaraan setiap tahapan pemilihan umum, mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan sampai dengan tahapan penyelesaian. Dalam kaitan dengan itu, Undang-Undang (UU 32/2004 dan UU 15/2011) telah memberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum (termasuk di daerah) untuk melakukan pengelolaan proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuai dengan tingkatannya. Dalam mengelola penyelenggaraan pilkada tersebut, KPU di daerah (baca : KPU provinsi/kabupaten/kota sesuai tingkatannya) pada dasarnya memiliki tugas dan wewenang yang mencakup 2 (dua) kategori besar, yaitu pertama, pengelolaan proses penyelenggaraan pilkada (electoral governance); dan kedua, pengelolaan sistem pendukung penyelenggaraan pilkada (electoral supporting system).
Ruang lingkup pelaksanaan tugas electoral governance meliputi penyelenggaraan seluruh tahapan pilkada. Pasal 65 ayat (3) UU 32/2004 telah menentukan bahwa tahapan pelaksanaan pilkada meliputi : (i) penetapan daftar pemilih; (ii) pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah/wakil kepala daerah; (iii) kampanye; (iv) pemungutan suara; (v) penghitungan suara; dan (vi) penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Tahapan-tahapan ini direncanakan, dilaksanakan, dan dikelola sedemikian rupa secara demokratis, yang sasaran utamanya adalah terpilihnya pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah. Tahapan ini harus dilaksanakan secara apik dan runut, artinya bahwa harus terstruktur, tahapan yang satu tidak dapat dilaksanakan bila tahapan sebelumnya belum terlaksana. Misalnya, tahapan kampanye tidak dapat dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran dan penetapan calon belum selesai, atau tahapan pemungutan suara tidak dapat dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran pemilih, tahapan penetapan calon, dan tahapan kampanye belum selesai dilaksanakan, dan seterusnya. Artinya bahwa dimensi waktu dan sifat sekuensial dalam pelaksanaan tahapan pilkada merupakan hal yang sangat penting, atau dengan kata lain tahapan-tahapan tersebut adalah merupakan satu kesatuan penyelenggaraan pilkada yang tidak dapat dibolak-balik/ditukar jadwal dan waktu pelaksanaannya.
Sementara ruang lingkup pelaksanaan tugas electoral supporting system, meliputi pengelolaan terhadap sistem pendukung, yakni : (i) organisasi personil badan penyelenggara dan panitia pelaksana pilkada; (ii) sistem dan jumlah anggaran yang memadai; (iii) sistem pengadaan, pendistribusian dan jumlah logistik yang sesuai dan memadai; dan (iv) sistem dokumentasi dan informasi yang sesuai. Keempat faktor pendukung ini bukan saja jenisnya harus memenuhi syarat dan jumlahnya memadai menurut Undang-Undang, tetapi ketersediaannya harus konsekuen dan bersesuaian dengan tahapan, program, dan jadwal sebagaimana pengelolaan electoral governance tersebut di atas. Misalnya saja personil Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, bukan saja harus memenuhi syarat dan jumlahnya cukup di semua desa/kelurahan, tetapi pembentukannya harus dilaksanakan sebelum tahapan pendaftaran pemilih dimulai, karena PPS harus mengangkat Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang akan memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dari pemerintah daerah, atau misalkan saja anggaran bukan saja harus sudah ditetapkan dengan sistem yang benar dan jumlah yang memadai, tetapi juga harus dicairkan sesuai dengan tahapan pilkada yang telah ditetapkan, dan pencairan selanjutnya tidak menghambat tahapan selanjutnya. Sehingga dengan demikian, terhambatnya pengelolaan sistem pendukung ini sudah tentu akan menghambat pelaksanaan tugas electoral governance tersebut di atas, dan sudah pasti tahapan penyelenggaraan pilkada akan tertunda.
Tugas yang pertama tidak mungkin dapat terlaksana bila tidak dibarengi dengan ketersediaan sistem pendukung yang memadai, sehingga keduanya harus berjalan beriringan agar sasaran yang dituju dapat tercapai. Namun ternyata fakta menunjukkan hal yang agak berbeda dari maksud baik tersebut bila ditinjau dari sudut pandang penilaian publik (awam) atas efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya.
Penilaian atas pelaksanaan tugas electoral governance, ditentukan oleh efektifitas pelaksanaan tahapan yang sudah ditetapkan, yakni seberapa konsekuen tahapan tersebut dilaksanakan, seberapa baik kualitas dan ketepatan waktu pelaksanaannya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Publik akan menilai bahwa penyelenggara tidak berhasil apabila tahapan pilkada tidak dilaksanakan tepat waktu atau tidak konsekuen. Di sisi lain, penilaian atas pengelolaan supporting system ditentukan oleh efisiensi penggunaannya, yakni seberapa minimum menggunakan personel, seberapa hemat menggunakan anggaran, logistik, dan dokumentasi data pilkada. Publik ternyata memberikan penilaian berdasarkan prinsip ekonomi, mengharapkan hasil yang seefektif mungkin dengan menggunakan sistem pendukung seefisien mungkin. Dari fenomena ini, beberapa pertanyaan yang harus dijawab secara bijak perlu dikemukakan, antara lain : Apakah tepat bila surat suara pilkada dicetak hitam putih dengan ukuran minimal,  kartu pemilih ditiadakan, formulir pendaftaran pemilih dan penghitungan suara dikurangi sebagian, formulir verifikasi dukungan calon perseorangan ditiadakan, bahan sosialisasi ditiadakan, demi efisiensi ? ; Apakah tepat bila personel KPPS, PPDP, PPS, dan PPK yang bertugas memutakhirkan data pemilih, memverifikasi dukungan calon perseorangan, melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara, mensosialisasikan pelaksanaan Pilkada di tingkat bawah, dan mendistribusikan logistik pilkada yang jangka waktunya telah diatur Undang-Undang digaji dengan honor jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR) atau dipotong masa jabatannya demi efisiensi ? ; Apakah tepat bila penyelenggara pilkada tidak perlu mendokumentasikan data pilkada di tengah tuntutan publik yang haus informasi tentang proses penyelenggaraan pilkada, demi efisiensi ?; lebih krusial lagi kalau kemudian kita mempertanyakan seberapa pentingkah pelaksanaan Pilkada dibanding pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, jembatan, dan sarana/prasarana lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan lebih fair kalau penulis menyajikan contoh kasus dan data-data dalam perencanaan pelaksanaan Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah menimbulkan persepsi beragam akibat debat kusir yang tidak dilandasi basis argumentasi yang tepat terutama pendapat yang membandingkan anggaran Pemilu Gubernur Tahun 2007 dan Tahun 2012 yang dikemukakan oleh (yang katanya) tokoh yang paham ilmu kepemiluan. Untuk menguji akurasi pendapat tersebut, informasi berikut dapat dijadikan referensi untuk mengujinya : Pertama, Personel organisasi pelaksana pemilu mengalami peningkatan jumlah yang sangat signifikan akibat pemekaran wilayah administratif, yakni penambahan 2 kabupaten/kota, penambahan 92 kecamatan, penambahan 225 desa/kelurahan, dan penambahan 714 TPS; Kedua, Penambahan jenis personel baru pelaksana pilkada, yaitu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) pada 4.629 TPS akibat perubahan regulasi/pengaturan Pilkada; Ketiga, Peningkatan honorarium PPK, PPS, dan KPPS akibat penambahan beban kerja dan perubahan regulasi; Keempat, penambahan jenis logistik akibat perubahan regulasi dengan berlakunya ketentuan membolehkannya calon perseorangan dalam Pilkada dan penambahan logistik DPS/DPT yang diakibatkan oleh diwajibkannya PPS memberikan salinan DPS/DPT kepada perwakilan peserta pilkada di tingkat desa/kelurahan; Kelima, penambahan item biaya operasional verifikasi PPS dan PPK akibat penambahan kewenangan verifikasi faktual terhadap dukungan calon perseorangan; Keenam, Peningkatan biaya pendistribusian logistik dari KPU Provinsi ke 12 KPU Kabupaten/Kota, dari 12 KPU Kabupaten/Kota ke 209 kecamatan, dari 209 kecamatan ke 2.136 desa/kelurahan, dan selanjutnya ke 4.629 TPS pulang pergi; dan Ketujuh, Inflasi harga logistik pemilu 4 tahun terakhir.
Dari informasi ini, masih tepat dan relevankah kita menilai sesuatu dengan menggunakan parameter yang berbeda, tanpa mempertimbangkan dan mengabaikan dinamika perkembangan wilayah, jumlah pemilih, perubahan regulasi, penambahan jumlah dan jenis logistik, dan inflasi harga dalam kurun waktu yang relatif tidak singkat?. Tentunya publik sudah dapat mengambil kesimpulan tepat tidaknya pendapat yang membandingkan anggaran Pilgub 2007 dan Pilgub 2012, tanpa merinci secara detail parameter apa yang dipergunakan untuk membuat perbandingan, dan basis argumentasi apa yang mendasari pernyataannya.
Sebagai penyelenggara yang baik, apa pun alasannya harus membuat pilihan, mana yang menjadi prioritas dalam merencanakan  Pilkada, efektivitas penyelenggaraan ataukah efisiensi pembiayaan dengan mengurangi/menghilangkan roh Pilkada itu sendiri. Penulis sependapat dengan Ramlan Surbakti, dkk (2008) bahwa yang menjadi prioritas adalah pencapaian tujuan penyelenggaraan Pilkada (efektifitas), meskipun yang efektif tidak selalu efisien, karena pelaksanaan tugas electoral supporting system tidak hanya dinilai dari segi efisiensinya, tetapi juga dukungannya bagi pencapaian tujuan pelaksanaan tugas electoral governance. Sebagai tambahan deskripsi, misalkan saja untuk meningkatkan partisipasi pemilih, agar menjamin pemilih menyadari dan berminat menggunakan hak pilihnya dalam pilkada sehingga bersedia mengecek namanya dalam DPS, mengikuti kampanye berbagai pasangan calon, berdiskusi dengan teman mengenai pilkada, bertanya kepada PPS bila belum menerima undangan memberikan suara, dan datang ke TPS untuk memberikan suara, akan diperlukan program sosialisasi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada dan semua aparatnya pada semua tingkatan dengan berbagai metode, yang tentunya semua itu dapat dilaksanakan bila didukung oleh anggaran, logistik, dan personil pelaksana yang memadai. Karenanya, walaupun efisiensi sangat penting dalam pelaksanaan sistem pendukung, namun pencapaian tujuan penyelenggaraan pilkada seringkali memerlukan sistem pendukung yang kurang efisien.
Perbedaan sudut pandang atas pilihan prioritas mana yang lebih diutamakan inilah yang menyebabkan perbedaan persepsi antara penyelenggara pilkada sebagai pengelola anggaran dan pemerintah daerah dan DPRD sebagai institusi yang berwenang menetapkan anggaran. Dalam praktik yang terjadi selama ini, seakan-akan tahapan yang bergantung pada anggaran, sehingga persepsi ini digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk ‘mengatur’ penyelenggara pilkada dalam menetapkan tahapan pelaksanaan pilkada. Penyelenggara pilkada kemudian terkesan ‘memohon’ kepada pihak-pihak berkepentingan agar memenuhi ketersediaan anggaran untuk melaksanakan tahapan penyelenggaraan pilkada. Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ‘politisasi anggaran’. Padahal ketentuan pasal 116 ayat (5) UU 15/2011 menegaskan bahwa Pendanaan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota wajib dianggarkan dalam APBD. Kata ‘wajib’ disini mengisyaratkan adanya ‘hak’ di pihak yang lain, sehingga sudah seyogiyanya bahwa ternyata anggaran lah yang bergantung pada tahapan pilkada, bukan sebaliknya. Semoga penyelenggaraan pilkada di masa yang akan datang semakin berkualitas, baik dari segi electoral governance-nya maupun electoral supporting system-nya.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

Tidak ada komentar: