Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian
Media Sultra, Senin 5 Maret 2012, Nomor 2333/Tahun IX
Salah
satu subkajian pemilihan umum (termasuk pemilihan kepala daerah) adalah subkajian
electoral management, atau management for electoral processes, yang
mengkaji manajemen penyelenggaraan setiap tahapan pemilihan umum, mulai dari
tahapan persiapan, pelaksanaan sampai dengan tahapan penyelesaian. Dalam kaitan
dengan itu, Undang-Undang (UU 32/2004 dan UU 15/2011) telah memberikan
kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum (termasuk di daerah) untuk melakukan
pengelolaan proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuai
dengan tingkatannya. Dalam mengelola penyelenggaraan pilkada tersebut, KPU di
daerah (baca : KPU provinsi/kabupaten/kota sesuai tingkatannya) pada dasarnya
memiliki tugas dan wewenang yang mencakup 2 (dua) kategori besar, yaitu pertama, pengelolaan proses
penyelenggaraan pilkada (electoral
governance); dan kedua, pengelolaan
sistem pendukung penyelenggaraan pilkada (electoral
supporting system).
Ruang
lingkup pelaksanaan tugas electoral
governance meliputi penyelenggaraan seluruh tahapan pilkada. Pasal 65 ayat
(3) UU 32/2004 telah menentukan bahwa tahapan pelaksanaan pilkada meliputi :
(i) penetapan daftar pemilih; (ii) pendaftaran dan penetapan calon kepala
daerah/wakil kepala daerah; (iii) kampanye; (iv) pemungutan suara; (v)
penghitungan suara; dan (vi) penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Tahapan-tahapan ini
direncanakan, dilaksanakan, dan dikelola sedemikian rupa secara demokratis,
yang sasaran utamanya adalah terpilihnya pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah. Tahapan ini harus dilaksanakan secara apik dan runut, artinya
bahwa harus terstruktur, tahapan yang satu tidak dapat dilaksanakan bila
tahapan sebelumnya belum terlaksana. Misalnya, tahapan kampanye tidak dapat
dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran dan penetapan calon belum selesai, atau
tahapan pemungutan suara tidak dapat dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran
pemilih, tahapan penetapan calon, dan tahapan kampanye belum selesai
dilaksanakan, dan seterusnya. Artinya bahwa dimensi waktu dan sifat sekuensial
dalam pelaksanaan tahapan pilkada merupakan hal yang sangat penting, atau
dengan kata lain tahapan-tahapan tersebut adalah merupakan satu kesatuan
penyelenggaraan pilkada yang tidak dapat dibolak-balik/ditukar jadwal dan waktu
pelaksanaannya.
Sementara
ruang lingkup pelaksanaan tugas electoral
supporting system, meliputi pengelolaan terhadap sistem pendukung, yakni :
(i) organisasi personil badan penyelenggara dan panitia pelaksana pilkada; (ii)
sistem dan jumlah anggaran yang memadai; (iii) sistem pengadaan, pendistribusian
dan jumlah logistik yang sesuai dan memadai; dan (iv) sistem dokumentasi dan
informasi yang sesuai. Keempat faktor pendukung ini bukan saja jenisnya harus
memenuhi syarat dan jumlahnya memadai menurut Undang-Undang, tetapi
ketersediaannya harus konsekuen dan bersesuaian dengan tahapan, program, dan
jadwal sebagaimana pengelolaan electoral
governance tersebut di atas. Misalnya saja personil Panitia Pemungutan
Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, bukan saja harus memenuhi syarat dan
jumlahnya cukup di semua desa/kelurahan, tetapi pembentukannya harus
dilaksanakan sebelum tahapan pendaftaran pemilih dimulai, karena PPS harus
mengangkat Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang akan memutakhirkan
data pemilih berdasarkan data kependudukan dari pemerintah daerah, atau
misalkan saja anggaran bukan saja harus sudah ditetapkan dengan sistem yang
benar dan jumlah yang memadai, tetapi juga harus dicairkan sesuai dengan
tahapan pilkada yang telah ditetapkan, dan pencairan selanjutnya tidak
menghambat tahapan selanjutnya. Sehingga dengan demikian, terhambatnya
pengelolaan sistem pendukung ini sudah tentu akan menghambat pelaksanaan tugas electoral governance tersebut di atas,
dan sudah pasti tahapan penyelenggaraan pilkada akan tertunda.
Tugas
yang pertama tidak mungkin dapat terlaksana bila tidak dibarengi dengan
ketersediaan sistem pendukung yang memadai, sehingga keduanya harus berjalan
beriringan agar sasaran yang dituju dapat tercapai. Namun ternyata fakta
menunjukkan hal yang agak berbeda dari maksud baik tersebut bila ditinjau dari
sudut pandang penilaian publik (awam) atas efektifitas dan efisiensi
pelaksanaannya.
Penilaian
atas pelaksanaan tugas electoral
governance, ditentukan oleh efektifitas pelaksanaan tahapan yang sudah
ditetapkan, yakni seberapa konsekuen tahapan tersebut dilaksanakan, seberapa
baik kualitas dan ketepatan waktu pelaksanaannya dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang dikehendaki. Publik akan menilai bahwa penyelenggara tidak
berhasil apabila tahapan pilkada tidak dilaksanakan tepat waktu atau tidak
konsekuen. Di sisi lain, penilaian atas pengelolaan supporting system ditentukan oleh efisiensi penggunaannya, yakni
seberapa minimum menggunakan personel, seberapa hemat menggunakan anggaran,
logistik, dan dokumentasi data pilkada. Publik ternyata memberikan penilaian
berdasarkan prinsip ekonomi, mengharapkan hasil yang seefektif mungkin dengan
menggunakan sistem pendukung seefisien mungkin. Dari fenomena ini, beberapa
pertanyaan yang harus dijawab secara bijak perlu dikemukakan, antara lain :
Apakah tepat bila surat suara pilkada dicetak hitam putih dengan ukuran minimal,
kartu pemilih ditiadakan, formulir
pendaftaran pemilih dan penghitungan suara dikurangi sebagian, formulir
verifikasi dukungan calon perseorangan ditiadakan, bahan sosialisasi
ditiadakan, demi efisiensi ? ; Apakah tepat bila personel KPPS, PPDP, PPS, dan
PPK yang bertugas memutakhirkan data pemilih, memverifikasi dukungan calon
perseorangan, melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara, mensosialisasikan
pelaksanaan Pilkada di tingkat bawah, dan mendistribusikan logistik pilkada yang
jangka waktunya telah diatur Undang-Undang digaji dengan honor jauh di bawah
standar upah minimum regional (UMR) atau dipotong masa jabatannya demi
efisiensi ? ; Apakah tepat bila penyelenggara pilkada tidak perlu
mendokumentasikan data pilkada di tengah tuntutan publik yang haus informasi
tentang proses penyelenggaraan pilkada, demi efisiensi ?; lebih krusial lagi
kalau kemudian kita mempertanyakan seberapa pentingkah pelaksanaan Pilkada
dibanding pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, jembatan, dan
sarana/prasarana lainnya?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan lebih fair kalau penulis menyajikan contoh kasus dan data-data dalam
perencanaan pelaksanaan Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah
menimbulkan persepsi beragam akibat debat kusir yang tidak dilandasi basis
argumentasi yang tepat terutama pendapat yang membandingkan anggaran Pemilu
Gubernur Tahun 2007 dan Tahun 2012 yang dikemukakan oleh (yang katanya) tokoh
yang paham ilmu kepemiluan. Untuk menguji akurasi pendapat tersebut, informasi berikut
dapat dijadikan referensi untuk mengujinya : Pertama, Personel organisasi pelaksana pemilu mengalami peningkatan
jumlah yang sangat signifikan akibat pemekaran wilayah administratif, yakni
penambahan 2 kabupaten/kota, penambahan 92 kecamatan, penambahan 225 desa/kelurahan,
dan penambahan 714 TPS; Kedua, Penambahan
jenis personel baru pelaksana pilkada, yaitu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih
(PPDP) pada 4.629 TPS akibat perubahan regulasi/pengaturan Pilkada; Ketiga, Peningkatan honorarium PPK, PPS,
dan KPPS akibat penambahan beban kerja dan perubahan regulasi; Keempat, penambahan jenis logistik
akibat perubahan regulasi dengan berlakunya ketentuan membolehkannya calon
perseorangan dalam Pilkada dan penambahan logistik DPS/DPT yang diakibatkan
oleh diwajibkannya PPS memberikan salinan DPS/DPT kepada perwakilan peserta
pilkada di tingkat desa/kelurahan; Kelima,
penambahan item biaya operasional verifikasi PPS dan PPK akibat penambahan
kewenangan verifikasi faktual terhadap dukungan calon perseorangan; Keenam, Peningkatan biaya
pendistribusian logistik dari KPU Provinsi ke 12 KPU Kabupaten/Kota, dari 12
KPU Kabupaten/Kota ke 209 kecamatan, dari 209 kecamatan ke 2.136
desa/kelurahan, dan selanjutnya ke 4.629 TPS pulang pergi; dan Ketujuh, Inflasi harga logistik pemilu 4
tahun terakhir.
Dari
informasi ini, masih tepat dan relevankah kita menilai sesuatu dengan
menggunakan parameter yang berbeda, tanpa mempertimbangkan dan mengabaikan
dinamika perkembangan wilayah, jumlah pemilih, perubahan regulasi, penambahan
jumlah dan jenis logistik, dan inflasi harga dalam kurun waktu yang relatif
tidak singkat?. Tentunya publik sudah dapat mengambil kesimpulan tepat tidaknya
pendapat yang membandingkan anggaran Pilgub 2007 dan Pilgub 2012, tanpa merinci
secara detail parameter apa yang dipergunakan untuk membuat perbandingan, dan basis
argumentasi apa yang mendasari pernyataannya.
Sebagai
penyelenggara yang baik, apa pun alasannya harus membuat pilihan, mana yang
menjadi prioritas dalam merencanakan Pilkada,
efektivitas penyelenggaraan ataukah efisiensi pembiayaan dengan
mengurangi/menghilangkan roh Pilkada itu sendiri. Penulis sependapat dengan Ramlan
Surbakti, dkk (2008) bahwa yang menjadi prioritas adalah pencapaian tujuan
penyelenggaraan Pilkada (efektifitas), meskipun yang efektif tidak selalu
efisien, karena pelaksanaan tugas electoral
supporting system tidak hanya dinilai dari segi efisiensinya, tetapi juga
dukungannya bagi pencapaian tujuan pelaksanaan tugas electoral governance. Sebagai tambahan deskripsi, misalkan saja
untuk meningkatkan partisipasi pemilih, agar menjamin pemilih menyadari dan
berminat menggunakan hak pilihnya dalam pilkada sehingga bersedia mengecek
namanya dalam DPS, mengikuti kampanye berbagai pasangan calon, berdiskusi
dengan teman mengenai pilkada, bertanya kepada PPS bila belum menerima undangan
memberikan suara, dan datang ke TPS untuk memberikan suara, akan diperlukan
program sosialisasi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada dan semua
aparatnya pada semua tingkatan dengan berbagai metode, yang tentunya semua itu
dapat dilaksanakan bila didukung oleh anggaran, logistik, dan personil
pelaksana yang memadai. Karenanya, walaupun efisiensi sangat penting dalam
pelaksanaan sistem pendukung, namun pencapaian tujuan penyelenggaraan pilkada
seringkali memerlukan sistem pendukung yang kurang efisien.
Perbedaan
sudut pandang atas pilihan prioritas mana yang lebih diutamakan inilah yang
menyebabkan perbedaan persepsi antara penyelenggara pilkada sebagai pengelola
anggaran dan pemerintah daerah dan DPRD sebagai institusi yang berwenang
menetapkan anggaran. Dalam praktik yang terjadi selama ini, seakan-akan tahapan
yang bergantung pada anggaran, sehingga persepsi ini digunakan oleh pihak-pihak
berkepentingan untuk ‘mengatur’ penyelenggara pilkada dalam menetapkan tahapan
pelaksanaan pilkada. Penyelenggara pilkada kemudian terkesan ‘memohon’ kepada
pihak-pihak berkepentingan agar memenuhi ketersediaan anggaran untuk
melaksanakan tahapan penyelenggaraan pilkada. Fenomena inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah ‘politisasi anggaran’. Padahal ketentuan pasal 116 ayat
(5) UU 15/2011 menegaskan bahwa Pendanaan penyelenggaraan pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota wajib dianggarkan dalam APBD. Kata ‘wajib’ disini
mengisyaratkan adanya ‘hak’ di pihak yang lain, sehingga sudah seyogiyanya
bahwa ternyata anggaran lah yang bergantung pada tahapan pilkada, bukan
sebaliknya. Semoga penyelenggaraan pilkada di masa yang akan datang semakin
berkualitas, baik dari segi electoral
governance-nya maupun electoral
supporting system-nya.
*Penulis, Anggota
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar