Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian
Media Sultra, Rabu 8 Pebruari 2012, Nomor 2311/Tahun IX
Mengawali
tulisan ini, penulis terlebih dahulu mengutip rumusan tentang pemilihan umum
yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, dkk (2008) yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian
kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota legislatif (pusat
dan daerah), presiden/wakil presiden, dan kepala daerah/wakil kepala daerah
untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat.
Mekanisme pendelegasian ini dilakukan secara periodik dan tertib agar terjadi
suatu sirkulasi elit yang elegan, yang bertujuan untuk memindahkan berbagai
macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga
legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan
beradab. Dari rumusan tersebut, berarti dalam pemilihan umum terdapat suatu
cara penerjemahan suara rakyat dalam bentuk pemungutan suara yang dikumpulkan
dan dihitung lalu dikonversi menjadi kursi-kursi yang diisi oleh para kandidat
yang kemudian menjadi penyelenggara negara sebagai pemegang mandat atas
pendelegasian tersebut di atas. Mekanisme penerjemahan suara menjadi kursi ini,
kemudian dikenal sebagai Sistem Pemilihan Umum sebagaimana didefinisikan oleh
Andrew Reynold, dkk (2005) : At the most
basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election
into seats won by parties and candidates.
Berbicara
tentang konversi suara menjadi kursi, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi
pertimbangan ketika mendesain suatu sistem pemilihan umum, yaitu representasi
(keterwakilan) suara dan akuntabilitas kandidat terpilih. Hal ini pula yang
kemudian menimbulkan pemilahan sistem pemilihan umum atas dua arus pemikiran.
Menurut Farrell (1997), dua arus pemikiran tersebut adalah : pertama, konsep mikrokosmos yang mengandaikan legislatif adalah sampel dari
populasi masyarakat atau miniatur masyarakat, sehingga legislatif harus
merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan
bertindak; dan kedua, konsep prinsipal-agen yang mengandaikan bahwa
legislatif merupakan pemegang kuasa rakyat, yang bertindak mewakili kepentingan
para pihak yang memilihnya tanpa mempersoalkan komposisi statistik-sosiologis.
Atas dasar pemikiran tersebut, konsep pemikiran pertama diyakini dapat
diakomodasi sebagai sistem pemilihan umum proporsional, dan konsep pemikiran
kedua mewakili sistem pemilihan umum majority (di Indonesia, sistem pemilihan
kedua ini menyebutnya sebagai sistem distrik, suatu penyebutan yang tidak lazim
dalam membahas sistem pemilu, namun telah sering digunakan oleh para politisi
dalam membahas sistem pemilu).
Dewasa
ini, varian sistem pemilihan umum yang dianut oleh negara-negara demokratis
sangat banyak jenisnya, namun menurut International
Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA)
sistem pemilu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu Plurality/Majority
(P/M) Systems, Proportional Representation (PR) Systems, Mixed Systems, dan
Other Systems (Andrew Reynold, dkk, 2005). Setiap jenis sistem pemilu memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, tidak ada satu sistem pemilu pun yang
dapat dikatakan lebih sempurna dari yang lain. Hal ini cukup beralasan, karena
bila kita menginginkan keterwakilan (representasi) suatu sistem pemilu cukup
tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan dengan wakil yang banyak (multi-member districs), maka berarti
pilihan kita adalah PR Systems, namun pasti akan terkendala pada faktor
akuntabilitas calon terpilih, karena ia akan lebih loyal kepada partai yang
mencalonkannya ketimbang konstituennya dan sebaliknya bila kita menginginkan
akuntabilitas calon terpilih tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan
berwakil tunggal (single-member districs),
yang berarti pilihan kita adalah P/M Systems, namun pasti banyak suara yang
akan hilang tidak terkonversi menjadi kursi (derajat representasi/ keterwakilannya
rendah), karena prinsip the winner takes
all dari sistem ini. Namunpun demikian, bukan berarti kemudian kita (terutama
pembuat Undang-Undang) kehilangan akal untuk mencari bentuk sistem pemilu yang
paling tepat diadopsi dengan mempertimbangkan tujuan dari tatanan politik yang
dikehendaki.
Bagaimana
dengan sistem pemilu legislatif di Indonesia?. Untuk keperluan dan kebutuhan
redesain, kita membutuhkan informasi mengenai pengalaman penyelenggaraan
pemilihan umum yang pernah dilaksanakan. Sejak Proklamasi kemerdekaan 1945,
Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum legislatif sebanyak 10 (sepuluh)
kali, dengan rincian 1 (satu) kali di masa rezim Orde Lama, 6 (enam) kali di
era Orde Baru, dan 3 (tiga) kali pada era pasca reformasi.
Pada
Pemilu Orde lama 1955, diadopsi PR systems dengan subvarian close list PR (CLPR)
yang pembagian kursinya menggunakan sistem kombinasi nasional dengan
pemberlakuan stembuss accord, yaitu
seluruh sisa suara yang tidak terkonversi menjadi kursi di 16 daerah pemilihan
(termasuk 1 daerah pemilihan yang tidak melaksanakan pemilu ; Irian Jaya/Papua
dan Papua Barat sekarang) digabung secara nasional untuk keperluan pembagian
sisa kursi yang belum teralokasi. Daerah pemilihan yang dibentuk merupakan
wilayah administratif saat itu, tanpa pembatasan district magnetude. Meskipun derajat representasi sangat tinggi,
namun pemilu ini menempatkan wakil 27
partai politik di DPR dan 1 orang calon perseorangan, sehingga di lembaga
legislatif terbentuk pluralisme
terpolarisasi yang bukan saja sulit dalam pengambilan keputusan bahkan
terjadi konflik di antara elit-elit partai tersebut. Pemilu Orde Baru, juga
masih mengadopsi CLPR. Karena peserta pemilu hanya dua partai politik dan satu
golongan karya (kecuali Pemilu 1971, peserta pemilunya 10 kontestan), sudah
pasti di lembaga legislatif akan terbentuk pluralisme
sederhana bahkan single-party
yang meskipun dapat menjamin stabilitas pemerintahan namun cenderung otoriter. Hal
menarik dari sistem pemilu di era orde baru adalah district magnetude-nya mengakomodasi territorial representation (perwakilan wilayah) dengan memberikan
jaminan minimal satu kursi pada kabupaten/kota sehingga terjadi perimbangan
jumlah kursi antara Jawa dan luar Jawa (bayangkan, kalau diterapkan sekarang,
berarti alokasi kursi DPR di Sultra minimal 12 kursi). Pemilu 1999, pemilu
multipartai kedua setelah 1955 dengan tetap mengadopsi CLPR, bedanya dalam
pemilu ini tidak memberlakukan sistem kombinasi, tetapi kursi habis di daerah
pemilihan dengan memberlakukan stembuss
accord, sementara mekanisme pembentukan district
magnetude-nya sama dengan pemilu orde baru. Hasil pemilu menunjukkan 21
partai politik berhasil menempatkan wakilnya di DPR, sehingga dalam lembaga
legislatif terbentuk pluralisme
terpolarisasi. Pemilu 2004, pemilu pertama kali yang secara formal
menggunakan open list PR (OLPR), namun secara materiil (substansi) tetap CLPR. Ballot structure-nya menggunakan OLPR
yang kemudian berdampak pada mahal dan rumitnya pemilu 2004, sementara electoral formula-nya menggunakan CLPR,
dimana kandidat terpilih bukan ditentukan oleh pemilih namun ditentukan oleh
partai politik melalui nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Kandidat
populer yang ditempatkan pada nomor urut besar hanya dijadikan sebagai vote getter oleh partai politik untuk
meraup suara sebanyak-banyaknya, namun tidak mengantarkannya sebagai kandidat
terpilih. Pemilu ini kemudian membentuk sistem kepartaian pluralisme terpolarisasi, yang menempatkan 16 parpol di DPR dan
kemudian membentuk koalisi gemuk yang tidak efektif. Pemilu 2009 menerapkan
sepenuhnya OLPR (itupun setelah diluruskan dengan putusan MK), lalu
memodifikasi Pemilu 2004 dengan memperkecil district
magnetude dan penambahan sistem kombinasi di tingkat provinsi untuk
pembagian sisa kursi yang tidak mencapai 50% BPP di daerah pemilihan serta
memberlakukan parliamentary treshold
2,5%. Pemilu ini menghasilkan sistem kepartaian pluralisme moderat dengan menempatkan 9 partai politik di DPR.
Namunpun demikian, Sistem Pemilu 2009 yang menerapkan OLPR berdampak pada rumit
dan mahalnya biaya surat suara dan formulir penghitungan suara, tidak saja
rumit bagi penyelenggara, namun menyulitkan pemilih serta rawan kecurangan,
baik dilakukan kandidat, penyelenggara maupun kolaborasi keduanya. Hal ini
tidak bisa dihindari karena sistem pemilu OLPR, mengharuskan penempatan nama
kandidat yang jumlahnya ratusan, dengan jumlah partai politik yang banyak pada
surat suara. Selanjutnya, penerapan OL PR telah membuat konflik antar-kandidat
dalam internal partai politik di daerah pemilihan yang sama dan berujung pada
tidak sehatnya penataan institusi partai politik yang notabene bertugas melakukan
pendidikan politik bagi masyarakat, serta visi misi, dan semangat kolektif
partai politik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai dan
dalam jangka panjang akan semakin menurunkan kepercayaan rakyat terhadap partai
politik.
Dari
uraian di atas, untuk mencapai pemilu yang berderajat representasi dan
akuntabilitas yang baik dengan mempertimbangkan sistem kepartaian multipartai pluralisme sederhana yang menopang
stabilitas sistem pemerintahan presidensiil, perlu melakukan redesain sistem
pemilihan umum. Untuk keperluan ini, penulis akan merekomendasikan suatu sistem
pemilu yang menggabungkan antara PR system dan M/P System, dengan maksud
mengambil keuntungan dari kedua sistem tersebut dan kelemahan yang satu dapat
ditutupi oleh kelebihan sistem pemilu yang lainnya atau sebaliknya. Menurut
penulis, varian yang paling cocok digabungkan adalah varian CLPR dari PR systems dan First Past The Post (FPTP) dari M/P
Systems. Alasan pilihan penulis, karena kedua varian sistem tersebut cukup
sederhana, mudah diterapkan, mudah dipahami pemilih, tidak rawan manipulatif, dan
murah. Secara singkat operasionalisasinya dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Jumlah kursi DPR dialokasikan
pada setiap provinsi berdasarkan jumlah penduduk, sekaligus ditentukan jumlah
kursi yang dipilih untuk CLPR maupun FPTP setiap provinsi dengan ketentuan bila
jumlah kursi di provinsi tersebut bernilai genap, maka jumlah kursi CLPR sama
dengan
jumlah kursi FPTP, dan jumlah kursi CLPR lebih besar dari FPTP bila jumlah
kursi ganjil; Kedua, Daerah
Pemilihan untuk CLPR adalah provinsi, sementara daerah pemilihan FPTP adalah
provinsi atau gabungan kabupaten/kota, kabupaten/kota, atau gabungan kecamatan,
dimana satu provinsi minimal terbentuk 1 daerah pemilihan FPTP; Ketiga, Pencalonan, setiap partai dapat
mengajukan daftar calon maksimal 120% dari kuota kursi CLPR di setiap provinsi
dan mengajukan 1 orang calon di setiap daerah pemilihan FPTP; Keempat, Ballot Structure, surat suara
memuat tanda gambar partai dan foto calon yang diajukan lewat FPTP (sudah pasti
tanda gambar partai lebih banyak atau sama dengan jumlah foto calon), sehingga
pemilih diminta memilih salah satu tanda gambar partai dan/atau salah satu foto
calon (bila jumlah partai seperti Pemilu 2009 lalu, maka surat suara maksimal
sebesar kertas doublefolio); Kelima, pembagian
kursi, untuk hasil perolehan suara tanda gambar partai politik menggunakan
sistem quota varian Hare murni, dimana sisa suara dibagi menurut prinsip the largest remainder untuk setiap
provinsi, dan untuk perolehan suara calon, kursi otomatis diberikan kepada
partai yang mengajukan calon yang menang di setiap daerah pemilihan FPTP dengan
menggunakan prinsip the winner takes all
(bila diberlakukan treshold, maka partai yang dapat diikutkan dalam pembagian
kursi adalah partai yang melampaui treshold tersebut); dan Keenam calon terpilih untuk daerah pemilihan CLPR ditetapkan
berdasarkan nomor urut dalam daftar calon yang diajukan partai politik yang
mendapat kursi, sementara untuk daerah pemilihan FPTP diberikan kepada calon
yang menang (memperoleh suara terbanyak).
Sistem
pemilu hybrid (Indonesia : baca
‘hibrida’) seperti ini telah sukses diterapkan dengan beberapa pengaturan
khusus di beberapa negara seperti Jerman, New Zaeland (disebut sistem Mix Member Proportional/MMP), Taiwan,
Korea Selatan, Rusia (disebut sistem Mix
Member Majoritarian/ MMM) dan beberapa negara lainnya. Tentu semua ini
dapat diterapkan di Indonesia, tergantung pada hasil pengkajian dan cara
pandang para pembuat undang-undang, dalam hal ini para anggota DPR sebagai
wakil rakyat yang terhormat, karena tulisan ini hanyalah merupakan hasil kajian
penulis sendiri yang berkeyakinan bahwa inilah sistem pemilu yang ideal
diterapkan dalam Pemilu Legislatif di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan
telah dan akan ada pihak-pihak lain yang pernah/akan merekomendasikan hal yang
sama dengan penulis.
*Penulis, Anggota
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar