LABEL

Sabtu, 07 April 2012

REDESAIN SISTEM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF



Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian Media Sultra, Rabu 8 Pebruari 2012, Nomor 2311/Tahun IX

Mengawali tulisan ini, penulis terlebih dahulu mengutip rumusan tentang pemilihan umum yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, dkk (2008) yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota legislatif (pusat dan daerah), presiden/wakil presiden, dan kepala daerah/wakil kepala daerah untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat. Mekanisme pendelegasian ini dilakukan secara periodik dan tertib agar terjadi suatu sirkulasi elit yang elegan, yang bertujuan untuk memindahkan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab. Dari rumusan tersebut, berarti dalam pemilihan umum terdapat suatu cara penerjemahan suara rakyat dalam bentuk pemungutan suara yang dikumpulkan dan dihitung lalu dikonversi menjadi kursi-kursi yang diisi oleh para kandidat yang kemudian menjadi penyelenggara negara sebagai pemegang mandat atas pendelegasian tersebut di atas. Mekanisme penerjemahan suara menjadi kursi ini, kemudian dikenal sebagai Sistem Pemilihan Umum sebagaimana didefinisikan oleh Andrew Reynold, dkk (2005) : At the most basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election into seats won by parties and candidates.
Berbicara tentang konversi suara menjadi kursi, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi pertimbangan ketika mendesain suatu sistem pemilihan umum, yaitu representasi (keterwakilan) suara dan akuntabilitas kandidat terpilih. Hal ini pula yang kemudian menimbulkan pemilahan sistem pemilihan umum atas dua arus pemikiran. Menurut Farrell (1997), dua arus pemikiran tersebut adalah : pertama, konsep mikrokosmos yang mengandaikan legislatif adalah sampel dari populasi masyarakat atau miniatur masyarakat, sehingga legislatif harus merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan bertindak; dan kedua, konsep prinsipal-agen yang mengandaikan bahwa legislatif merupakan pemegang kuasa rakyat, yang bertindak mewakili kepentingan para pihak yang memilihnya tanpa mempersoalkan komposisi statistik-sosiologis. Atas dasar pemikiran tersebut, konsep pemikiran pertama diyakini dapat diakomodasi sebagai sistem pemilihan umum proporsional, dan konsep pemikiran kedua mewakili sistem pemilihan umum majority (di Indonesia, sistem pemilihan kedua ini menyebutnya sebagai sistem distrik, suatu penyebutan yang tidak lazim dalam membahas sistem pemilu, namun telah sering digunakan oleh para politisi dalam membahas sistem pemilu).
Dewasa ini, varian sistem pemilihan umum yang dianut oleh negara-negara demokratis sangat banyak jenisnya, namun menurut International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) sistem pemilu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu Plurality/Majority (P/M) Systems, Proportional Representation (PR) Systems, Mixed Systems, dan Other Systems (Andrew Reynold, dkk, 2005). Setiap jenis sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tidak ada satu sistem pemilu pun yang dapat dikatakan lebih sempurna dari yang lain. Hal ini cukup beralasan, karena bila kita menginginkan keterwakilan (representasi) suatu sistem pemilu cukup tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan dengan wakil yang banyak (multi-member districs), maka berarti pilihan kita adalah PR Systems, namun pasti akan terkendala pada faktor akuntabilitas calon terpilih, karena ia akan lebih loyal kepada partai yang mencalonkannya ketimbang konstituennya dan sebaliknya bila kita menginginkan akuntabilitas calon terpilih tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member districs), yang berarti pilihan kita adalah P/M Systems, namun pasti banyak suara yang akan hilang tidak terkonversi menjadi kursi (derajat representasi/ keterwakilannya rendah), karena prinsip the winner takes all dari sistem ini. Namunpun demikian, bukan berarti kemudian kita (terutama pembuat Undang-Undang) kehilangan akal untuk mencari bentuk sistem pemilu yang paling tepat diadopsi dengan mempertimbangkan tujuan dari tatanan politik yang dikehendaki.
Bagaimana dengan sistem pemilu legislatif di Indonesia?. Untuk keperluan dan kebutuhan redesain, kita membutuhkan informasi mengenai pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum yang pernah dilaksanakan. Sejak Proklamasi kemerdekaan 1945, Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum legislatif sebanyak 10 (sepuluh) kali, dengan rincian 1 (satu) kali di masa rezim Orde Lama, 6 (enam) kali di era Orde Baru, dan 3 (tiga) kali pada era pasca reformasi.
Pada Pemilu Orde lama 1955, diadopsi PR systems dengan subvarian close list PR (CLPR) yang pembagian kursinya menggunakan sistem kombinasi nasional dengan pemberlakuan stembuss accord, yaitu seluruh sisa suara yang tidak terkonversi menjadi kursi di 16 daerah pemilihan (termasuk 1 daerah pemilihan yang tidak melaksanakan pemilu ; Irian Jaya/Papua dan Papua Barat sekarang) digabung secara nasional untuk keperluan pembagian sisa kursi yang belum teralokasi. Daerah pemilihan yang dibentuk merupakan wilayah administratif saat itu, tanpa pembatasan district magnetude. Meskipun derajat representasi sangat tinggi, namun pemilu ini  menempatkan wakil 27 partai politik di DPR dan 1 orang calon perseorangan, sehingga di lembaga legislatif terbentuk pluralisme terpolarisasi yang bukan saja sulit dalam pengambilan keputusan bahkan terjadi konflik di antara elit-elit partai tersebut. Pemilu Orde Baru, juga masih mengadopsi CLPR. Karena peserta pemilu hanya dua partai politik dan satu golongan karya (kecuali Pemilu 1971, peserta pemilunya 10 kontestan), sudah pasti di lembaga legislatif akan terbentuk pluralisme sederhana bahkan single-party yang meskipun dapat menjamin stabilitas pemerintahan namun cenderung otoriter. Hal menarik dari sistem pemilu di era orde baru adalah district magnetude-nya mengakomodasi territorial representation (perwakilan wilayah) dengan memberikan jaminan minimal satu kursi pada kabupaten/kota sehingga terjadi perimbangan jumlah kursi antara Jawa dan luar Jawa (bayangkan, kalau diterapkan sekarang, berarti alokasi kursi DPR di Sultra minimal 12 kursi). Pemilu 1999, pemilu multipartai kedua setelah 1955 dengan tetap mengadopsi CLPR, bedanya dalam pemilu ini tidak memberlakukan sistem kombinasi, tetapi kursi habis di daerah pemilihan dengan memberlakukan stembuss accord, sementara mekanisme pembentukan district magnetude-nya sama dengan pemilu orde baru. Hasil pemilu menunjukkan 21 partai politik berhasil menempatkan wakilnya di DPR, sehingga dalam lembaga legislatif terbentuk pluralisme terpolarisasi. Pemilu 2004, pemilu pertama kali yang secara formal menggunakan open list PR (OLPR), namun secara materiil (substansi) tetap CLPR. Ballot structure-nya menggunakan OLPR yang kemudian berdampak pada mahal dan rumitnya pemilu 2004, sementara electoral formula-nya menggunakan CLPR, dimana kandidat terpilih bukan ditentukan oleh pemilih namun ditentukan oleh partai politik melalui nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Kandidat populer yang ditempatkan pada nomor urut besar hanya dijadikan sebagai vote getter oleh partai politik untuk meraup suara sebanyak-banyaknya, namun tidak mengantarkannya sebagai kandidat terpilih. Pemilu ini kemudian membentuk sistem kepartaian pluralisme terpolarisasi, yang menempatkan 16 parpol di DPR dan kemudian membentuk koalisi gemuk yang tidak efektif. Pemilu 2009 menerapkan sepenuhnya OLPR (itupun setelah diluruskan dengan putusan MK), lalu memodifikasi Pemilu 2004 dengan memperkecil district magnetude dan penambahan sistem kombinasi di tingkat provinsi untuk pembagian sisa kursi yang tidak mencapai 50% BPP di daerah pemilihan serta memberlakukan parliamentary treshold 2,5%. Pemilu ini menghasilkan sistem kepartaian pluralisme moderat dengan menempatkan 9 partai politik di DPR. Namunpun demikian, Sistem Pemilu 2009 yang menerapkan OLPR berdampak pada rumit dan mahalnya biaya surat suara dan formulir penghitungan suara, tidak saja rumit bagi penyelenggara, namun menyulitkan pemilih serta rawan kecurangan, baik dilakukan kandidat, penyelenggara maupun kolaborasi keduanya. Hal ini tidak bisa dihindari karena sistem pemilu OLPR, mengharuskan penempatan nama kandidat yang jumlahnya ratusan, dengan jumlah partai politik yang banyak pada surat suara. Selanjutnya, penerapan OL PR telah membuat konflik antar-kandidat dalam internal partai politik di daerah pemilihan yang sama dan berujung pada tidak sehatnya penataan institusi partai politik yang notabene bertugas melakukan pendidikan politik bagi masyarakat, serta visi misi, dan semangat kolektif partai politik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai dan dalam jangka panjang akan semakin menurunkan kepercayaan rakyat terhadap partai politik.
Dari uraian di atas, untuk mencapai pemilu yang berderajat representasi dan akuntabilitas yang baik dengan mempertimbangkan sistem kepartaian multipartai pluralisme sederhana yang menopang stabilitas sistem pemerintahan presidensiil, perlu melakukan redesain sistem pemilihan umum. Untuk keperluan ini, penulis akan merekomendasikan suatu sistem pemilu yang menggabungkan antara PR system dan M/P System, dengan maksud mengambil keuntungan dari kedua sistem tersebut dan kelemahan yang satu dapat ditutupi oleh kelebihan sistem pemilu yang lainnya atau sebaliknya. Menurut penulis, varian yang paling cocok digabungkan adalah varian CLPR dari PR systems dan First Past The Post (FPTP) dari M/P Systems. Alasan pilihan penulis, karena kedua varian sistem tersebut cukup sederhana, mudah diterapkan, mudah dipahami pemilih, tidak rawan manipulatif, dan murah. Secara singkat operasionalisasinya dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Jumlah kursi DPR dialokasikan pada setiap provinsi berdasarkan jumlah penduduk, sekaligus ditentukan jumlah kursi yang dipilih untuk CLPR maupun FPTP setiap provinsi dengan ketentuan bila jumlah kursi di provinsi tersebut bernilai genap, maka jumlah kursi CLPR sama dengan jumlah kursi FPTP, dan jumlah kursi CLPR lebih besar dari FPTP bila jumlah kursi ganjil; Kedua, Daerah Pemilihan untuk CLPR adalah provinsi, sementara daerah pemilihan FPTP adalah provinsi atau gabungan kabupaten/kota, kabupaten/kota, atau gabungan kecamatan, dimana satu provinsi minimal terbentuk 1 daerah pemilihan FPTP; Ketiga, Pencalonan, setiap partai dapat mengajukan daftar calon maksimal 120% dari kuota kursi CLPR di setiap provinsi dan mengajukan 1 orang calon di setiap daerah pemilihan FPTP; Keempat, Ballot Structure, surat suara memuat tanda gambar partai dan foto calon yang diajukan lewat FPTP (sudah pasti tanda gambar partai lebih banyak atau sama dengan jumlah foto calon), sehingga pemilih diminta memilih salah satu tanda gambar partai dan/atau salah satu foto calon (bila jumlah partai seperti Pemilu 2009 lalu, maka surat suara maksimal sebesar kertas doublefolio); Kelima, pembagian kursi, untuk hasil perolehan suara tanda gambar partai politik menggunakan sistem quota varian Hare murni, dimana sisa suara dibagi menurut prinsip the largest remainder untuk setiap provinsi, dan untuk perolehan suara calon, kursi otomatis diberikan kepada partai yang mengajukan calon yang menang di setiap daerah pemilihan FPTP dengan menggunakan prinsip the winner takes all (bila diberlakukan treshold, maka partai yang dapat diikutkan dalam pembagian kursi adalah partai yang melampaui treshold tersebut); dan Keenam calon terpilih untuk daerah pemilihan CLPR ditetapkan berdasarkan nomor urut dalam daftar calon yang diajukan partai politik yang mendapat kursi, sementara untuk daerah pemilihan FPTP diberikan kepada calon yang menang (memperoleh suara terbanyak).
Sistem pemilu hybrid (Indonesia : baca ‘hibrida’) seperti ini telah sukses diterapkan dengan beberapa pengaturan khusus di beberapa negara seperti Jerman, New Zaeland (disebut sistem Mix Member Proportional/MMP), Taiwan, Korea Selatan, Rusia (disebut sistem Mix Member Majoritarian/ MMM) dan beberapa negara lainnya. Tentu semua ini dapat diterapkan di Indonesia, tergantung pada hasil pengkajian dan cara pandang para pembuat undang-undang, dalam hal ini para anggota DPR sebagai wakil rakyat yang terhormat, karena tulisan ini hanyalah merupakan hasil kajian penulis sendiri yang berkeyakinan bahwa inilah sistem pemilu yang ideal diterapkan dalam Pemilu Legislatif di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan telah dan akan ada pihak-pihak lain yang pernah/akan merekomendasikan hal yang sama dengan penulis.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

Tidak ada komentar: