LABEL

Selasa, 10 April 2012

HUKUM BARU DALAM SENGKETA HASIL PEMILUKADA



Oleh : Bosman*


Konsep kuno yang menempatkan hakim hanya sekedar “terompet undang-undang” yang bersumber dari kalimat yang pernah disampaikan oleh Baron de Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755) empat abad silam : “the judge as la bouche de la loi, as the mouthpiece of the law”, tampaknya sudah harus dihapus dari praktik peradilan, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang lebih responsif. Hal ini sesungguhnya merupakan kewajiban hakim yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sehingga dari uraian ini, untuk menjamin kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan sudah sepantasnyalah seorang hakim senantiasa secara kontinyu melakukan proses penggalian dan penemuan hukum.

Tampaknya hal tersebut agak ganjil, karena kita sudah terlalu meyakini bahwa ajaran Trias Politica Montesquieu sebagai suatu doktrin yang paling benar. Dalam masyarakat modern dengan permasalahan yang sangat kompleks, sudah tidak realistis lagi untuk menerima ajaran tersebut sepenuhnya. Menurut kami, dari perspektif ini tidak ada lagi perbedaan yang tajam antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, karena di saat kita mau menganut pemisahan yang tajam dari ketiga komponen tersebut, maka kita telah terjebak dalam suatu legisme positivis yang hanya mengagungkan undang-undang buatan legislatif sebagai satu-satunya sumber hukum, padahal ia sudah tertinggal jauh dari laju perkembangan kompleksitas masyarakat. Penulis sepakat dengan pendapat Benjamin Nathan Cardozo (dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum) seorang hakim Amerika, yang menyatakan bahwa kewajiban hakim adalah menegakkan objektivitas melalui putusan-putusannya. Bagi Cardozo, putusan-putusannya tidaklah merupakan perwujudan aspirasi pribadinya, juga bukan manifestasi dari pendirian pribadinya, dan juga bukan penerapan faslafah pribadinya, melainkan putusan tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi, pendirian, dan falsafah masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan. Sehingga, penulis sekaligus mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh para hakim dalam proses pembentukan hukum demi tercapainya tujuan hukum (judge made law).

Dalam hubungannya dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perselisihan (sengketa) hasil pemilukada (PHPUD) yang dibuat oleh hakim-hakim MK, ternyata telah banyak mengalami perkembangan yang cukup signifikan, karena telah berani melakukan suatu terobosan hukum yang memutus melampaui ketentuan undang-undang. Untuk pertama kali, MK memutus melampaui ketentuan undang-undang adalah pada perkara Nomor 41/PHPU.D-VI/2008. Perkara tersebut diputus pada tanggal 2 Desember 2008, yaitu mengenai PHPUD Pemilukada Gubernur Jawa Timur. Dalam perkara ini, MK memutus untuk memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan.
Apa sesungguhnya ketentuan undang-undang yang dilanggar atau yang dilampaui oleh MK? Bahwa pelanggaran-pelanggaran di dalam sengketa Pemilukada dapat dikategorikan ke dalam beberapa pelanggaran Pemilu ataupun pelanggaran Pemilukada seperti pelanggaran administratif dan tindak pidana Pemilu, misalnya money politic, intimidasi, dan penganiayaan. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jenis-jenis pelanggaran tersebut masing-masing ditangani oleh instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam putusan-putusannya, MK memberikan pertimbangan hukumnya dengan memberikan penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yaitu Mahkamah tidak hanya terpaku secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan MK mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU 12/2008 menyatakan, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon”, dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, “Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.”

Selanjutnya, MK memberikan alasan bahwa dalam mengemban misinya sebagai pengawal konstitusi dan pemberi keadilan tidak dapat memainkan perannya dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung perolehan suara secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah tidak dapat atau dilarang memasuki proses peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang menciderai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila MK diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun Pemilukada berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja dengan membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil. Jika demikian maka MK selaku institusi negara pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan sebagai “tukang stempel” dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum (Daerah). Jika hal itu terjadi berarti akan melenceng jauh dari filosofi dan tujuan diadakannya peradilan atas sengketa hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut. Terlebih lagi banyak fakta tentang terjadinya pelanggaran yang belum dapat diselesaikan oleh peradilan umum karena waktu penyelidikan atau penyidikannya telah habis, sedangkan KPU dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera menetapkan hasil Pemilukada sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

Sehingga pada akhirnya, dari pandangan hukum seperti tersebut di atas, maka MK dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara an sich, melainkan juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Hal ini sangat sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan MK memutus sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”. Dalam berbagai putusan MK yang seperti tersebut di atas, terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan, baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada.

Dalam praktik yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, MK dapat menilai pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat mempengaruhi hasil peringkat perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau Pemilukada (vide Putusan Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008). Dasar konstitusional atas sikap MK ini adalah ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili..., dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut jelas dinyatakan bahwa Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum” dan bukan sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah sebagai lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada;

Dari putusan-putusan MK tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam menilai proses terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut MK membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori, Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran yang seperti ini MK tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi ranah peradilan umum dan/atau PTUN; Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak signifikan memengaruhi hasil Pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh MK untuk membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPUProvinsi/Kabupaten/Kota; dan Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal.

Bahwa berdasar pandangan dan paradigma yang dianut tersebut maka penulis juga menyimpulkan bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan mengambil alih kewenangan badan peradilan lain, karena MK tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam Pemilu atau Pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada sebagai dasar putusan tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para pelakunya. Dengan kata lain, sampai saat ini dan sesuai dengan yurisprudensi yang ada, MK tidak menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilukada atau tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi, namun tetap dapat memeriksa dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk penyelenggaraan Pemilukada. Pandangan Mahkamah demikian menurut penulis didasarkan atas pemahaman bahwa demokrasi tidak saja dilakukan berdasarkan atas pergulatan kekuatan politik semata, namun lebih jauh dari itu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum atau nomokrasi. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diperoleh secara demokratis semata-mata dapat dibatalkan oleh pengadilan jika ternyata terdapat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum yang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan di hadapan pengadilan.


*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

Tidak ada komentar: