LABEL

Sabtu, 07 April 2012

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM CENGKERAMAN REZIM GANDA



Oleh : Bosman*

Dalam perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat dengan pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni bagaimana proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu jabatan (ambt) dengan pejabat (ambtdrager). Sehingga, pemilihan kepala daerah dalam perspektif tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu (i) adanya jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah; (ii) adanya tata cara (mekanisme) tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan (iii) adanya pejabat, dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota. Khusus tentang tata cara pengisian jabatan, akan memunculkan pertanyaan : Apa yang menjadi alasan jabatan kepala daerah itu harus diisi dengan cara pemilihan (election)?.

Pada negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol itu sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Tiap jabatan yang secara langsung dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah pengawasan langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan keikutsertaan ataupun pengukuhan publik.

Dalam praktek berdasarkan hukum positif yang pernah berlaku, sejak negeri ini diproklamirkan sampai menjelang reformasi, mekanisme pengisian jabatan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah (UU No 1/1945, UU No 1/1957, Penpres No 6/1959, UU No 18/1965, UU No 5/1974, dan UU 22/1999). Berbeda dengan kepala daerah, DPRD yang merupakan salah satu unsur pemerintahan daerah, justru mekanisme pemilihannya diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemilihan umum (UU No 15/1969, UU No 4/1975, UU No 2/1980, UU No 1/1985, UU No 3/1999, UU No 12/2003, dan UU No 10/2008). Sehingga ditinjau dari pengaturan mekanisme pengisian jabatan ini, maka muncullah istilah rezim pemerintahan daerah dan rezim pemilu, dan dapat dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah dikategorikan sebagai rezim pemerintahan daerah, dan pemilihan anggota DPRD dikategorikan sebagai rezim pemilu. Suatu hal yang agak unik, karena dua unsur sistem pemerintahan daerah tersebut (kepala daerah dan DPRD) mekanisme pengisian jabatannya diatur dengan rezim pengaturan yang berbeda.

Pilkada Dalam Rezim Pemerintahan Daerah
Setelah era reformasi, yang diikuti dengan beberapa proses desakralisasi terhadap konstitusi UUD 1945, lahirlah legislasi baru dalam sistem pemerintahan daerah, yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari-hari terakhir masa jabatannya. Dikatakan baru, karena terdapat pengaturan yang belum pernah diatur dalam legislasi tentang pemerintahan daerah sebelumnya. Hal-hal baru tersebut, antara lain adalah pengaturan mengenai pengisian jabatan kepala daerah yang dilaksanakan melalui pemilihan (bukan pemilihan umum) secara langsung oleh rakyat (pasal 56 sampai dengan pasal 119). UU No. 32 Tahun 2004 “enggan” menggunakan istilah pemilihan umum untuk proses ini, karena tidak ada satu frase pemilihan umum pun yang digunakan untuk menjelaskan tentang tata cara pemilihan kepala daerah. Keengganan semakin jelas bila menelaah lebih jauh dasar konsideran “mengingat” dalam pembentukan UU tersebut. Ternyata, yang dijadikan acuan pembentukan UU tersebut adalah ketentuan pasal 18 UUD 1945 (pengaturan tentang pemerintah daerah), tanpa sama sekali mempertimbangkan ketentuan pasal 22 E (pengaturan tentang pemilihan umum) UUD 1945. Namun, kenyataannya bahwa pembuat undang-undang menerjemahkan frase “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan pemilihan langsung yang tidak lain menggunakan mekanisme dan tahapan-tahapan sebagaimana layaknya pemilihan umum.

Hal yang sangat tidak wajar adalah persoalan penyelenggara pemilihan kepala daerah. Dalam ketentuan pasal 1, khususnya angka 21 UU No. 32/2004 mendefinisikan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan ini, sesungguhnya penyelenggara pemilu di daerah (KPU Provinsi/Kabupaten/Kota) telah di otonomisasi dan/atau di desentralisasi sebagaimana prinsip-prinsip yang terkandung dalam sistem pemerintahan daerah. Akibatnya, label-label otonomi daerah melekat pada KPU di daerah dengan menambah embel-embel Daerah di belakang KPU, sehingga sejak saat itulah pertama kali dikenal istilah KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada KPU yang membentuknya. Padahal, ketentuan pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa komisi pemilihan umum bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Namunpun demikian, menurut penulis, tak dapat disangkali bahwa secara umum pemilihan kepala daerah pada periode rezim ini berlangsung dengan relatif cukup baik, meskipun tak dapat disangkali pula bahwa dengan otonomi penyelenggara pemilu di daerah telah menimbulkan daya ikat yang kuat antara elit daerah dengan para komisioner di daerah, yang rasanya kurang elok bila dipandang dari perspektif kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu. Terlebih lagi sumber anggaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah berasal dari APBD, yang sangat mungkin menimbulkan suatu proses tawar-menawar dengan DPRD dan Pemda, apalagi oknum DPRD dan/ atau oknum pejabat Pemda berniat untuk menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah.

Pilkada Dalam Rezim Pemilu
Banyaknya kritik terhadap desentralisasi/otonomisasi penyelenggara pemilu di daerah selama kurun waktu 2004-2006 akibat pengaturan penyelenggara pemilu dalam UU 32/2004 yang diberi kewenangan khusus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah terlepas dari induknya, menimbulkan pemikiran pembuat undang-undang untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur penyelenggara pemilihan umum.

Pemikiran tersebut bermuara pada terbitnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang sepertinya memberi angin segar memasukkan pemilihan kepala daerah ke dalam rezim pemilihan umum. Hal ini dapat disimak dari definisi ketentuan pasal 1 angka 4 undang-undang tersebut, yakni bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini, secara yuridis formal telah mengkategorikan pemilihan kepala daerah sebagai pemilihan umum, dan sebagian orang kemudian mengekspresikan pemilihan kepala daerah dengan menggunakan istilah “pemilukada” (bukan lagi pilkada), sebagai pertanda berubahnya rezim yang menguasainya, meskipun sebagian orang (termasuk penulis) masih terbiasa menyebut dengan istilah pilkada.

Meskipun pemilihan kepala daerah telah dikategorikan sebagai pemilu oleh UU 22/2007, namun undang-undang ini hanya mengembalikan kewenangan penyelenggara pemilu pada posisi yang nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis tetapi belum mengubah paradigma pemilu kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah, karena belum ada pengaturan lain tentang mekanisme, teknis, dan penganggaran tentang pilkada, selain yang diatur dalam UU 32/2004 (sebagaimana telah diubah 2 kali dan terakhir dengan UU 12/2008).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah saat ini berada dalam kekuasaan dua rezim tersebut. Beberapa alasan dan fakta yang mendasari pemikiran ini antara lain adalah : pertama, dasar pelaksanaan pilkada apapun alasannya masih merujuk pada UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang secara substansi banyak bertentangan dengan pengaturan mengenai penyelenggara pemilu yang diatur dalam UU 22/2007 tentang penyelenggara pemilu, misalnya saja masalah masa jabatan badan pelaksana pemilu yang relatif lama, sementara tahapan yang dilaksanakan tidak berubah (relatif lebih singkat), akibatnya dari sisi efektifitas anggaran terjadi pemborosan; kedua, sumber anggaran pemilihan kepala daerah masih berasal dari APBD, yang merupakan domain kekuasaan pemerintahan daerah, tetapi pelaksananya adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis yang merupakan domain kekuasaan rezim pemilu, akibatnya tidak ada sinkronisasi antara tahapan dan anggaran, sehingga tidak jarang tahapan yang sudah dibuat akan direvisi terus, sampai tersedia anggaran yang cukup memadai, yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Fakta menunjukkan bahwa dari 7 provinsi dan 240-an kabupaten/kota yang berencana melaksanakan pemilu kepala daerah pada tahun 2010, hampir semua tertunda beberapa kali tahapannya hanya karena tidak memadainya anggaran, baik itu belum disetujui di DPRD, maupun yang terhambat karena belum di tanda tanganinya Akta Hibah dengan Pemerintah Daerah.

Menurut penulis, hal yang harus segera dibenahi yang merupakan akar permasalahan pemilu kepala daerah adalah membuat sinkronisasi pengaturan masalah pemilu kepala daerah dengan pemilu presiden/wakil presiden, pemilu legislatif, dan penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu membenahi konstitusi (baca opini : Gagasan Pemilu Eksekutif Serentak dan Amandemen Konstitusi, Kendari Ekspres edisi 12 Januari 2010), selanjutnya barulah dibuat konstruksi pengaturan mengenai pelaksanaan pemilu presiden dan kepala daerah, yang penganggarannya bersumber dari APBN.

*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tenggara

2 komentar:

La Ode Abdul Sufrin mengatakan...

Alhamdulillah, Blog ini bisa jadi referensi, bagi yang tertarik dengan ilmu Pemilu...

Unknown mengatakan...

Insya Allah dpt memberikan manfaat,,,