Oleh : Bosman*
Dalam
perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat dengan
pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni bagaimana
proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu jabatan (ambt) dengan pejabat (ambtdrager). Sehingga, pemilihan kepala
daerah dalam perspektif tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu (i) adanya
jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah; (ii) adanya tata cara (mekanisme)
tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan (iii) adanya pejabat,
dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan Bupati/Walikota untuk
daerah kabupaten/kota. Khusus tentang tata cara pengisian jabatan, akan
memunculkan pertanyaan : Apa yang menjadi alasan jabatan kepala daerah itu
harus diisi dengan cara pemilihan (election)?.
Pada
negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan yang tidak
bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu
kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan
kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol
itu sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Tiap jabatan yang secara langsung
dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah pengawasan
langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan
keikutsertaan ataupun pengukuhan publik.
Dalam
praktek berdasarkan hukum positif yang pernah berlaku, sejak negeri ini
diproklamirkan sampai menjelang reformasi, mekanisme pengisian jabatan kepala
daerah diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah (UU
No 1/1945, UU No 1/1957, Penpres No 6/1959, UU No 18/1965, UU No 5/1974, dan UU
22/1999). Berbeda dengan kepala daerah, DPRD yang merupakan salah satu unsur
pemerintahan daerah, justru mekanisme pemilihannya diatur dalam Undang-Undang
yang mengatur tentang pemilihan umum (UU No 15/1969, UU No 4/1975, UU No
2/1980, UU No 1/1985, UU No 3/1999, UU No 12/2003, dan UU No 10/2008). Sehingga
ditinjau dari pengaturan mekanisme pengisian jabatan ini, maka muncullah
istilah rezim pemerintahan daerah dan
rezim pemilu, dan dapat dikatakan
bahwa pemilihan kepala daerah dikategorikan sebagai rezim pemerintahan daerah,
dan pemilihan anggota DPRD dikategorikan sebagai rezim pemilu. Suatu hal yang
agak unik, karena dua unsur sistem pemerintahan daerah tersebut (kepala daerah
dan DPRD) mekanisme pengisian jabatannya diatur dengan rezim pengaturan yang
berbeda.
Pilkada
Dalam Rezim Pemerintahan Daerah
Setelah
era reformasi, yang diikuti dengan beberapa proses desakralisasi terhadap
konstitusi UUD 1945, lahirlah legislasi baru dalam sistem pemerintahan daerah,
yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditandatangani oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari-hari terakhir masa jabatannya.
Dikatakan baru, karena terdapat pengaturan yang belum pernah diatur dalam
legislasi tentang pemerintahan daerah sebelumnya. Hal-hal baru tersebut, antara
lain adalah pengaturan mengenai pengisian jabatan kepala daerah yang
dilaksanakan melalui pemilihan (bukan pemilihan umum) secara langsung oleh
rakyat (pasal 56 sampai dengan pasal 119). UU No. 32 Tahun 2004 “enggan” menggunakan istilah pemilihan
umum untuk proses ini, karena tidak ada satu frase pemilihan umum pun yang digunakan untuk menjelaskan tentang tata
cara pemilihan kepala daerah. Keengganan semakin jelas bila menelaah lebih jauh
dasar konsideran “mengingat” dalam
pembentukan UU tersebut. Ternyata, yang dijadikan acuan pembentukan UU tersebut
adalah ketentuan pasal 18 UUD 1945 (pengaturan tentang pemerintah daerah),
tanpa sama sekali mempertimbangkan ketentuan pasal 22 E (pengaturan tentang
pemilihan umum) UUD 1945. Namun, kenyataannya bahwa pembuat undang-undang
menerjemahkan frase “dipilih secara
demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan pemilihan langsung yang
tidak lain menggunakan mekanisme dan tahapan-tahapan sebagaimana layaknya
pemilihan umum.
Hal yang sangat tidak wajar
adalah persoalan penyelenggara pemilihan kepala daerah. Dalam ketentuan pasal
1, khususnya angka 21 UU No. 32/2004 mendefinisikan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah
yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus
oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan ini, sesungguhnya
penyelenggara pemilu di daerah (KPU Provinsi/Kabupaten/Kota) telah di
otonomisasi dan/atau di desentralisasi sebagaimana prinsip-prinsip yang
terkandung dalam sistem pemerintahan daerah. Akibatnya, label-label otonomi
daerah melekat pada KPU di daerah dengan menambah embel-embel Daerah di
belakang KPU, sehingga sejak saat itulah pertama kali dikenal istilah KPUD
(Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala
daerah tidak bertanggung jawab kepada KPU yang membentuknya. Padahal, ketentuan
pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa komisi pemilihan umum
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Namunpun demikian, menurut penulis, tak dapat disangkali bahwa secara
umum pemilihan kepala daerah pada periode rezim ini berlangsung dengan relatif cukup
baik, meskipun tak dapat disangkali pula bahwa dengan otonomi penyelenggara
pemilu di daerah telah menimbulkan daya ikat yang kuat antara elit daerah
dengan para komisioner di daerah, yang rasanya kurang elok bila dipandang dari
perspektif kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu. Terlebih lagi
sumber anggaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah berasal dari APBD, yang
sangat mungkin menimbulkan suatu proses tawar-menawar dengan DPRD dan Pemda,
apalagi oknum DPRD dan/ atau oknum pejabat Pemda berniat untuk menjadi calon
kepala daerah/wakil kepala daerah.
Pilkada
Dalam Rezim Pemilu
Banyaknya kritik terhadap
desentralisasi/otonomisasi penyelenggara pemilu di daerah selama kurun waktu
2004-2006 akibat pengaturan penyelenggara pemilu dalam UU 32/2004 yang diberi
kewenangan khusus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah terlepas dari
induknya, menimbulkan pemikiran pembuat undang-undang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Pemikiran
tersebut bermuara pada terbitnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum yang sepertinya memberi angin segar memasukkan pemilihan kepala daerah ke
dalam rezim pemilihan umum. Hal ini dapat disimak dari definisi ketentuan pasal
1 angka 4 undang-undang tersebut, yakni bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan ini, secara yuridis formal telah mengkategorikan pemilihan kepala
daerah sebagai pemilihan umum, dan sebagian orang kemudian mengekspresikan
pemilihan kepala daerah dengan menggunakan istilah “pemilukada” (bukan lagi pilkada),
sebagai pertanda berubahnya rezim yang menguasainya, meskipun sebagian orang (termasuk
penulis) masih terbiasa menyebut dengan istilah pilkada.
Meskipun
pemilihan kepala daerah telah dikategorikan sebagai pemilu oleh UU 22/2007,
namun undang-undang ini hanya mengembalikan kewenangan penyelenggara pemilu
pada posisi yang nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis tetapi belum mengubah
paradigma pemilu kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah, karena belum
ada pengaturan lain tentang mekanisme, teknis, dan penganggaran tentang
pilkada, selain yang diatur dalam UU 32/2004 (sebagaimana telah diubah 2 kali dan
terakhir dengan UU 12/2008).
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah saat
ini berada dalam kekuasaan dua rezim tersebut. Beberapa alasan dan fakta yang
mendasari pemikiran ini antara lain adalah : pertama, dasar pelaksanaan pilkada apapun alasannya masih merujuk
pada UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang secara substansi banyak
bertentangan dengan pengaturan mengenai penyelenggara pemilu yang diatur dalam
UU 22/2007 tentang penyelenggara pemilu, misalnya saja masalah masa jabatan
badan pelaksana pemilu yang relatif lama, sementara tahapan yang dilaksanakan
tidak berubah (relatif lebih singkat), akibatnya dari sisi efektifitas anggaran
terjadi pemborosan; kedua, sumber
anggaran pemilihan kepala daerah masih berasal dari APBD, yang merupakan domain
kekuasaan pemerintahan daerah, tetapi pelaksananya adalah KPU yang bersifat
nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis yang merupakan domain kekuasaan rezim
pemilu, akibatnya tidak ada sinkronisasi antara tahapan dan anggaran, sehingga
tidak jarang tahapan yang sudah dibuat akan direvisi terus, sampai tersedia
anggaran yang cukup memadai, yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan
pemilihan kepala daerah. Fakta menunjukkan bahwa dari 7 provinsi dan 240-an
kabupaten/kota yang berencana melaksanakan pemilu kepala daerah pada tahun
2010, hampir semua tertunda beberapa kali tahapannya hanya karena tidak
memadainya anggaran, baik itu belum disetujui di DPRD, maupun yang terhambat
karena belum di tanda tanganinya Akta Hibah dengan Pemerintah Daerah.
Menurut
penulis, hal yang harus segera dibenahi yang merupakan akar permasalahan pemilu
kepala daerah adalah membuat sinkronisasi pengaturan masalah pemilu kepala
daerah dengan pemilu presiden/wakil presiden, pemilu legislatif, dan
penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu membenahi konstitusi (baca opini : Gagasan Pemilu Eksekutif Serentak dan
Amandemen Konstitusi, Kendari Ekspres edisi 12 Januari 2010), selanjutnya
barulah dibuat konstruksi pengaturan mengenai pelaksanaan pemilu presiden dan
kepala daerah, yang penganggarannya bersumber dari APBN.
*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi
Tenggara
2 komentar:
Alhamdulillah, Blog ini bisa jadi referensi, bagi yang tertarik dengan ilmu Pemilu...
Insya Allah dpt memberikan manfaat,,,
Posting Komentar