Sejak para agitator berhasil membuat opini seakan-akan Pilgub Sultra cacat hukum khususnya tahapan Pencalonan, bermunculan pendapat-pendapat kaum yang seolah-olah paham persoalan baik yang berasal dari tim sukses paslon, akademisi, praktisi, bahkan dari dalam internal penyelenggara pemilu sendiri yang ujungnya berupaya untuk membuat pesta demokrasi rakyat Sultra unlegitimated dan mewacanakan apapun hasil Pilgub, pasti akan ada PSU (Pemungutan Suara Ulang). Tindakan yang sangat tidak bijak dan disertai takabbur yang berlebihan serta kadang sudah bertindak memastian sesuatu seperti Tuhan laksana Fir'aun ini sungguh telah merasuki otak hampir seluruh elemen masyarakat di Sultra. Tindakan ini begitu bernafsu dan massif diberitakan di hampir seluruh media lokal di seantero daerah penghasil aspal ini. Anehnya, DKPP dan PTUN melegitimasi apa yang menjadi opini yang terbangun dengan ikut-ikut menyalahkan secara pribadi kepada 2 (dua) komisioner KPU Prov Sultra, Bosman dan Masudi tanpa mencari siapa sebenarnya biang kerok dari seluruh proses yang dianggap bermasalah ini. Saya berkeyakinan, tidak dicarinya biang kerok oknum anggota KPU Provinsi Sultra ini disebabkan karena mereka adalah bagian dari agitator itu sendiri.
Keyakinan saya di dasari atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan MK maupun DKPP, antara lain : (i) Dokumen-dokumen pencalonan dikuasai oleh Eka Suaib, tanpa diberikan kepada pihak Sekretariat KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, padahal penyimpanan dokumen-dokumen KPU adalah menjadi kewenangan sekretariat, bukanlah kewenangannya; (ii) Eka Suaib pernah membuat surat yang mengatasnamakan KPU Provinsi Sulawesi Tenggara kepada Saudara Alimazi tanggal 5 Oktober 2012 tanpa diberi nomor oleh pihak sekretariat, ini adalah tindakan pribadi yang menyalahgunakan wewenang; (iii) Dokumen perbaikan syarat calon tidak pernah dilaporkan kepada Pleno KPU Prov Sultra sebelum proses verifikasi perbaikan, bahkan terkesan menghindar sejak tanggal 17 September 2012 sampai dengan 28 September 2012; (iv) Berita koran seakan-akan membenarkan seluruh tindakan Sdr Eka Suaib cs dan cenderung menyalahkan tindakan Masudi cs; (v) Hampir semua rekomendasi Panwas Sultra berujung pada perubahan tahapan dan jadwal tanpa adanya kajian yang mendalam tentang apa yang menjadi syarat-syarat penundaan tahapan; (vi) Dokumen-dokumen Berita Acara yang dibuat oleh Eka Suaib, Abdul Syahir, dan La Ode Muh Arddin tidak ada di kantor KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, tapi justru ada di tangan pihak bakal pasangan calon yang berkepentingan; (v) Beberapa KPU Kabupaten/Kota gencar berkomentar di koran seakan-akan berlaku sebagai pengamat yang bukan merupakan bagian dari lembaga KPU itu sendiri; (vi) La Ode Muh Arddin atas legitimasi Eka Suaib dan Abdul Syahir membuat surat undangan kepada Alimazi untuk hadir dalam acara Pencabutan Nomor Urut, padahal ia tidak berwenang mendatangani surat-surat KPU keluar yang menyebabkan kisruhnya acara tersebut; (vii) Pernyataan pasangan calon tertentu di salah satu koran lokal, bahwa dia tidak punya target menang, tapi targetnya adalah PSU; (viii) Eka Suaib, Abdul Syahir, dan La Ode Arddin diajukan oleh bakal pasangan calon sebagai saksinya di persidangan Mahkamah Konstitusi;
Kita tentunya masih ingat kalau opini Pemungutan Suara Ulang begitu membahana sepanjang hari sampai saat digelarnya Sidang Mahkamah Konstitusi, sehingga saya pun hampir yakin akan terjadi sebagaimana yang di opinikan para agitator tersebut. Akhir dari opini itu semua adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88-89-90-91/PHPU.D-X/2012 yang tidak menerima dan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Artinya, bukanlah Pemungutan Suara Ulang yang terjadi malah Pemilihan Sudah Usai. Tetapi hal yang menggembirakan saya adalah Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 90/PHPU.D-X/2012 yang dengan eksplisit membenarkan tindakan saya bersama Masudi dan sebaliknya menyatakan apa yang diperbuat oleh Eka Suaib, Abdul Syahir dan La Ode Arddin adalah cacad hukum, baik secara prosedural maupun substantif, jauh berbeda dengan pendapat hukum para yang mengaku pakar-pakar hukum di Sulawesi Tenggara. Setelah putusan ini dibacakan dimana suara para pakar-pakar itu?, diam membisu dengan bibir tergantung,,, hehehe,,, Pemilihan Sudah Usai bos!!!!!
Jumat, 14 Desember 2012
Senin, 17 September 2012
KPU se-Sultra Rampungkan Sosialisasi Verifikasi Parpol
KPU Kabupaten/Kota se Sulawesi Tenggara dibawah koordinasi Divisi Teknis dan Hukum KPU Provinsi Sulawesi Tenggara sampai dengan Senin (17/9/12) telah merampungkan sosialisasi di 10 kabupaten/kota dari 12 kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Tenggara. 10 kabupaten/kota yang telah selesai melaksanakan Sosialisasi/Penyuluhan Tata Cara Verifikasi Parpol Calon Peserta Pemilu 2014 adalah Kabupaten Konawe Selatan, Kota Kendari, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Kolaka, Kota Baubau, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana. Sementara dua kabupaten yang direncanakan selesai pada minggu ini adalah Kabupaten Buton dan Kabupaten Buton Utara.
Sosialisasi/Penyuluhan dilaksanakan dengan sasaran utama pimpinan parpol
di tingkat kabupaten/kota, sehingga diharapkan terdapat kesepahaman
antara seluruh pemangku kepentingan dalam proses verifikasi parpol calon
peserta Pemilu 2014, sehingga dengan demikian diharapkan integritas
proses dapat dipertangungjawabkan. Dari pelaksanaan sosialisasi di 10
kabupaten/kota tersebut 4 kabupaten/kota diantaranya dihadiri langsung
oleh Koordinator Divisi Teknis dan Hukum KPU Provinsi Sulawesi Tenggara,
Bosman, S.Si, SH, MH dan bertindak sebagai nara sumber, yaitu di
Kabupaten Konawe Selatan, Kota Kendari, Kabupaten Kolaka Utara, dan
Kabupaten Konawe Utara.
Dalam paparannya, Bosman menjelaskan tentang gambaran umum pengaturan Pemilu 2014 yang membedakan dengan Pemilu 2009, antara lain mengenai pemetaan daerah pemilihan Pemilu Anggota DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota, Penyusunan DPT yang memberlakukan DP Khusus, Pemungutan suara yang kembali menggunakan coblos (bukan contreng lagi), waktu kampanye yang sangat panjang, rekapitulasi penghitungan suara yang kembali memberi kewenangan PPS, konversi suara menjadi kursi yang habis di daerah pemilihan, pencalonan yang mewajibkan 30% perempuan, intervensi justice terhadap keputusan KPU mengenai penetapan peserta pemilu dan DCT melalui PT TUN, dan pemberlakuan PT hanya untuk Pemilu DPR berdasarkan Putusan MK 52/PUU-X/2012. Selebihnya dipaparkan mengenai tata cara verifikasi parpol calon peserta Pemilu 2014, yang pada prinsipnya menekankan bahwa KPU Kabupaten/Kota berwenang menerima Fotocopy KTA dan daftar keanggotaan Parpol.
Penyuluhan/Sosialisasi di Kota Kendari |
Penyuluhan/Sosialisasi di Kolaka Utara |
Jumat, 07 September 2012
KPU RI Resmi Menutup Pendaftaran Parpol Calon Peserta Pemilu 2014
Pendaftaran partai politik (parpol) calon peserta
Pemilu 2014 yang dibuka sejak Jumat, 10 Agustus 2012 lalu, hari ini
(Jumat, 7/9) secara resmi ditutup.
Hingga
berakhir pada pukul 16.00 WIB sore tadi, parpol yang mendaftarkan diri
ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), seluruhnya berjumlah 46 (empat puluh
enam) partai.
Di hari terakhir, Jumat (7/9), sebanyak 13
(tiga belas) partai mendaftarkan diri kepada panitia di Ruang Sidang
Lt.2 Gedung KPU, Jl. Imam Bonjol 29, Jakarta. Ke 46 arpol tersebut adalah :
1. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)
2. Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
3. Partai Pemuda Indonesia (PPI)
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
5. Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI)
6. Partai Kongres
7. Partai Serikat Independen (SRI)
8. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
9. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
10. Partai Bulan Bintang (PBB)
11. Partai Pemersatu Bangsa (PPB)
12. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
13. Partai Amanat Nasional (PAN)
14. Partai Golongan Karya (Golkar)
15. Partai Karya Republik (Pakar Pangan)
16. Partai Nasional Republik (Nasrep)
17. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
18. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
19. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
20. Partai Buruh
21. Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia (PKPI)
22. Partai Pelopor
23. Partai Republiku Indonesia
24. Partai Demokrat
25. Partai Damai Sejahtera (PDS)
26. Partai Republika Nusantara (Republikan)
27. Partai Islam
28. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme)
29. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
30. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
31. Partai Pengusaha Dan Pekerja Indonesia (PPPI)
32. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)
33. Partai Aksi Rakyat (PAR)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
35. Partai Merdeka
36. Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB)
37. Partai Republik
38. Partai Kedaulatan
39. Partai Persatuan Nasional
40. Partai Patriot
41. Partai Bhinneka Indonesia (PBI)
42. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
43. Partai Barisan Nasional (Barnas)
44. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia)
45. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)
46. Partai Matahari Bangsa (PMB)
Keempatpuluh enam partai politik ini diberi kesempatan untuk menyerahkan hard copy Kartu Tanda Anggota (KTA) dan Daftar Anggota Partai Politik sebanyak 1000 atau 1 per 1000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota kepada KPU Kabupaten/Kota sampai dengan tanggal 29 September 2012 sebagaimana Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014.
KPU Sultra Raker Penyuluhan Tata Cara Verifikasi Parpol Calon Peserta Pemilu 2014
Di tengah kesibukannya melaksanakan tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara masih menyempatkan untuk mengkoordinasi pelaksanaan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 atau biasa disebut Pemilu Legislatif. Agar semua jenis Pemilu tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka khusus untuk pelaksanaan tahapan Pemilu Legislatif di tahun 2012 dikoordinir langsung oleh Divisi Teknis dan Hukum KPU Provinsi Sultra dengan Koordinator Bosman, S.Si, SH, MH.
Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014, tahapannya telah memasuki Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2014. Dalam tahapan ini, KPU Provinsi berwenang untuk melakukan verifikasi faktual terhadap keabsahan kepengurusan parpol di tingkat provinsi termasuk 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tersebut dan kantor parpol di tingkat provinsi menyangkut jangka waktu pemakaiannya. Sementara itu KPU Kabupaten/Kota berwenang melakukan verifikasi faktual terhadap keabsahan kepengurusan parpol di tingkat kabupaten/kota termasuk 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tersebut dan kantor parpol di tingkat kabupaten/kota menyangkut jangka waktu pemakaiannya serta melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap persyaratan keanggotaan Parpol sebanyak 1000 atau 1 per 1000 dari jumlah penduduk di kabupaten/kota tersebut.
Untuk meningkatkan pemahaman terhadap tata cara verifikasi, KPU Provinsi Sultra melaksanakan Raker Penyuluhan Tata Cara Pendaftaran dan Verifikasi terhadap KPU Kabupaten/Kota pada tanggal 30 Agustus 2012 di Hotel Plaza Inn Kendari, yang diikuti oleh para Ketua dan Anggota, para Sekretaris dan Kasubag Hukum KPU Kabupaten/Kota. Acara tersebut dibuka oleh Koordinator Divisi Teknis dan Hukum, Bosman, S.Si, SH, MH sekaligus bertindak sebagai Narasumber tunggal. Hal-hal yang dipaparkan adalah mengenai Gambaran Umum Pemilu Legislatif 2014, Tahapan Pelaksanaan, dan Tata Cara Pendaftaran dan Verifikasi Parpol Calon Peserta Pemilu 2014.
Dalam acara tersebut juga narasumber memberikan spirit kepada KPU Kabupaten/Kota agar mengedepankan transparansi dalam proses verifikasi sedemikian sehingga meningkatkan 'trust' masyarakat terhadap Penyelenggara Pemilu. Selain itu, juga ditekankan kepada KPU Kabupaten/Kota agar setelah selesainya Raker agar melakukan Penyuluhan/Sosialisasi kepada Parpol di tingkat Kabupaten/Kota. Raker ini juga ditutup secara resmi oleh Bosman, S.Si, SH, MH pada Pukul 22.00 WITA.
Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014, tahapannya telah memasuki Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2014. Dalam tahapan ini, KPU Provinsi berwenang untuk melakukan verifikasi faktual terhadap keabsahan kepengurusan parpol di tingkat provinsi termasuk 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tersebut dan kantor parpol di tingkat provinsi menyangkut jangka waktu pemakaiannya. Sementara itu KPU Kabupaten/Kota berwenang melakukan verifikasi faktual terhadap keabsahan kepengurusan parpol di tingkat kabupaten/kota termasuk 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan tersebut dan kantor parpol di tingkat kabupaten/kota menyangkut jangka waktu pemakaiannya serta melakukan verifikasi administratif dan faktual terhadap persyaratan keanggotaan Parpol sebanyak 1000 atau 1 per 1000 dari jumlah penduduk di kabupaten/kota tersebut.
Narasumber sedang memberikan materi |
Dalam acara tersebut juga narasumber memberikan spirit kepada KPU Kabupaten/Kota agar mengedepankan transparansi dalam proses verifikasi sedemikian sehingga meningkatkan 'trust' masyarakat terhadap Penyelenggara Pemilu. Selain itu, juga ditekankan kepada KPU Kabupaten/Kota agar setelah selesainya Raker agar melakukan Penyuluhan/Sosialisasi kepada Parpol di tingkat Kabupaten/Kota. Raker ini juga ditutup secara resmi oleh Bosman, S.Si, SH, MH pada Pukul 22.00 WITA.
Kamis, 06 September 2012
Pendaftaran Bakal Paslon Gubernur/Wakil Gubernur Sultra ditutup
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara resmi menutup pendaftaran bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012 pada tanggal 2 September 2012 tepat pukul 24.00. Pendaftar terakhir yang diterima oleh Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara Ir Mas'udi dan Koordinator Divisi Teknis dan Hukum KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, Bosman, S.Si, SH, MH. adalah bakal pasangan calon Sabaruddin Labamba dan Muhammad Kasir.
Sampai dengan ditutupnya pendaftaran, terdaftar 6 (enam) bakal pasangan calon yang mendaftar, yaitu :
1. H. Nuralam dan H. Saleh La Sata
2. H. Buhari Matta dan Amirul Tamim
3. La Ode Asis dan HT Jusrin
4. Ridwan Bae dan Haerul Saleh
5. H. Alimazi dan H. Wuata Saranani
6. Sabaruddin Labamba dan Muhammad Kasir
Selanjutnya, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap syarat pengajuan dan syarat calon selama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal 3 September 2012, dan selanjutnya akan menyampaikan hasil verifikasi terhadap bakal pasangan calon.
Para Komisioner KPU Prov Sultra |
1. H. Nuralam dan H. Saleh La Sata
2. H. Buhari Matta dan Amirul Tamim
3. La Ode Asis dan HT Jusrin
4. Ridwan Bae dan Haerul Saleh
5. H. Alimazi dan H. Wuata Saranani
6. Sabaruddin Labamba dan Muhammad Kasir
Selanjutnya, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara akan melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap syarat pengajuan dan syarat calon selama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal 3 September 2012, dan selanjutnya akan menyampaikan hasil verifikasi terhadap bakal pasangan calon.
Kamis, 31 Mei 2012
Komisioner KPU Sultra Supervisi Tes Tertulis dan Wawancara Calon Anggota PPK dan PPS di Kabupaten Wakatobi
Wakatobi adalah kabupaten dengan kondisi geografis tersulit
di Sulawesi Tenggara. Ia adalah kabupaten kepulauan yang terdiri atas gugusan pulau-pulau
di Kepulauan Tukang Besi, terdiri atas beberapa pulau utama, yaitu Pulau
Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, dan Pulau Binongko yang kemudian
diakronimkan sebagai nama kabupaten WaKaToBi.
Suasana Tes Tertulis |
Dengan alasan ini pula, sehingga salah satu komisioner KPU
Sultra, yang juga Koordinator Divisi Teknis dan Hukum, Bosman, S.Si, SH, MH
memilih untuk melakukan supervisi di daerah ini. Pelaksanaan tes tertulis dan
wawancara di kabupaten ini dilakukan tidak terpusat di satu tempat, namun
dilakukan pada 4 (empat) titik di setiap pulau tersebut di atas. Komisioner KPU
Provinsi Sulawsi Tenggara menyempatkan untuk melakukan supervisi di dua titik,
yaitu di Pulau Kaledupa pada tanggal 28 Mei 2012, dan Pulau Wangi-Wangi pada
tanggal 30 Mei 2012.
Bosman, S.Si, SH, MH mewawancarai calon PPS |
Meski dengan tantangan alam dan cuaca yang kurang
bersahabat, namun supervisi tetap dilakukan dan peserta tes sangat antusias
mengikuti seluruh rangkaian tes yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Wakatobi.
Dalam kesempatan tersebut, Bosman menyempatkan diri turut melakukan wawancara
dengan peserta seleksi PPK dan PPS di Kecamatan Kaledupa, Kaledupa Selatan,
Wangi-Wangi, dan Wangi-Wangi Selatan.
Secara umum pelaksanaan tes tertulis dan wawancara dapat terlaksana
dengan baik dan hanya terkendala minimnya anggaran untuk menempatkan pegawai
KPU Kabupaten Wakatobi pada empat pulau utama tersebut akibat geografis yang
sulit terjangkau dan tantangan cuaca berupa badai dan ombak serta minimnya
transportasi, sehingga perlu penyesuaian-penyesuaian anggaran untuk daerah
sulit seperti Kabupaten Wakatobi.
Jumat, 25 Mei 2012
KPU Sultra Distribusi Soal Tes Tertulis Pembentukan PPK
Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Tenggara setelah merampungkan penyusunan tes tertulis Calon Anggota PPK (24/05/2012), terhitung mulai tanggal 26 sampai dengan 28 Mei 2012 mendistribusikan soal tes tertulis ke seluruh KPU Kabupaten/Kota se Sulawesi Tenggara.
Tes tertulis dilakukan di seluruh KPU Kabupaten/Kota se-Sulawesi Tenggara pada tanggal 28 Mei 2012 sesuai dengan tahapan program dan jadwal waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012. Soal tes tertulis terdiri atas dua jenis soal, yaitu Soal Pilihan Ganda dan Soal Essay. Untuk pelaksanaan tes tertulis, KPU Provinsi Sulawesi Tenggara berencana akan melakukan supervisi dengan menyebar seluruh anggota dan staf sekretariat, untuk memastikan agar pelaksanaannya dilakukan secara objektif oleh KPU Kabupaten/Kota.
Setelah seluruh soal di sortir, lalu dilakukan pengepakan untuk kemudian di sistribusi ke seluruh KPU Kabupaten/Kota.
Khusus untuk KPU Kabupaten Buton dan KPU Kota Kendari, PPK dan PPS nya tetap memakai PPK dan PPS pada Pemilihan Bupati/Walikota yang sementara berlangsung. Sementara untuk KPU Kabupaten Kolaka Utara, tinggal melakukan verifikasi terhadap Anggota PPK dan PPS pada saat pelaksanaan Pemilihan Bupati Kolaka Utara, dengan ketentuan bila masih memenuhi syarat akan kembali ditetapkan sebagai pelaksana pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
Rencananya, setelah tes tertulis akan dilanjutkan dengan tes wawancara yang akan dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota untuk mencari 5 (lima) orang anggota PPK dan 3 (tiga) orang anggota PPS sebagai pelaksana Pilgub di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan pada masing-masing Kabupaten/Kota.
Srikandi KPU Sultra mensortir soal tes tertulis PPK |
Pengepakan Soal |
Khusus untuk KPU Kabupaten Buton dan KPU Kota Kendari, PPK dan PPS nya tetap memakai PPK dan PPS pada Pemilihan Bupati/Walikota yang sementara berlangsung. Sementara untuk KPU Kabupaten Kolaka Utara, tinggal melakukan verifikasi terhadap Anggota PPK dan PPS pada saat pelaksanaan Pemilihan Bupati Kolaka Utara, dengan ketentuan bila masih memenuhi syarat akan kembali ditetapkan sebagai pelaksana pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
Rencananya, setelah tes tertulis akan dilanjutkan dengan tes wawancara yang akan dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota untuk mencari 5 (lima) orang anggota PPK dan 3 (tiga) orang anggota PPS sebagai pelaksana Pilgub di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan pada masing-masing Kabupaten/Kota.
Selasa, 22 Mei 2012
Raker Pengelolaan Keuangan Pilgub KPU Prov Sultra
Bosman, S.Si, SH, MH membuka Rapat Kerja |
Bosman, S.Si, SH, MH menyematkan tanda peserta |
Bosman, S.Si, SH, MH dan Drs Adnan Husainy |
Sabtu, 19 Mei 2012
Pemuda Pancasila Demo di KPU Sultra
Beberapa minggu terakhir, KPU Sultra sering kedatangan tamu terkait penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Kab Buton. Tanggal 30 April lalu sampai sepanjang minggu pertama dan kedua bulan Mei KPU Provinsi Sulawesi Tenggara di demo oleh massa dari ormas Pemuda Pancasila.
Massa menuntut penjelasan atas tidak lolosnya pasangan Abdul Hasan Mbou dan Buton Achmad yang dicoret oleh KPU Kabupaten Buton yang disupervisi oleh KPU Provinsi Sulawesi Tenggara. Di kantor KPU Provinsi Sulawesi Tenggara massa hanya ditemui oleh Koordinator Divisi Teknis dan Hukum, Bosman, S.Si, SH, MH. Namun massa tidak mau berdialog dengan komisioner KPU Provinsi tersebut. Massa hanya ingin menemui Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, Ir Mas'udi, karena mereka beralasan bahwa Bosman tidak tahu tentang duduk perkara dicoretnya pasangan yang berakronim SANTUN tersebut. Massa kemudian berorasi sampai sore hari menunggu kehadiran Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara. Tampaknya yang menjadi persoalan adalah mengenai partai pendukung pasangan calon SANTUN tersebut, yakni PPRN. Belum ada kesimpulan yang dikeluarkan oleh KPU Provinsi Sulawesi Tenggara terkait masalah ini.
Bosman, S.Si, SH, MH yang menemui massa pendemo |
Jumat, 18 Mei 2012
KPU Sultra Gelar Raker Pembentukan PPK dan PPS
Ir Mas'udi, Bosman, S.Si, SH, MH, dan Sek KPU Sultra |
Bertindak sebagai pemateri, Koordinator Divisi Teknis dan Hukum KPU Provinsi Sulawesi Tenggara, Bosman, S.Si, SH, MH, memaparkan tentang persyaratan untuk mengangkat anggota PPK dan PPS serta mekanisme seleksi Anggota PPK dan PPS dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra yang hari H nya jatuh pada 4 Nopember 2012. Dalam paparanya dijelaskan bahwa diharapkan PPK dan PPS yang akan terbentuk nantinya adalah personil yang mempunyai integritas dan tahan godaan, sehingga integritas proses dan hasil dapat dipertanggungjawabkan legitimasinya.
Penandatanganan Pakta Integritas |
Selasa, 10 April 2012
HUKUM BARU DALAM SENGKETA HASIL PEMILUKADA
Oleh : Bosman*
Konsep kuno yang menempatkan hakim hanya
sekedar “terompet undang-undang”
yang bersumber dari kalimat yang pernah disampaikan oleh Baron de Charles de Secondat Montesquieu (1689-1755) empat abad
silam : “the judge as la bouche de la
loi, as the mouthpiece of the law”, tampaknya sudah harus dihapus dari
praktik peradilan, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang
lebih responsif. Hal ini sesungguhnya
merupakan kewajiban hakim yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa “hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”. Sehingga dari uraian ini, untuk menjamin kepastian
hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan sudah sepantasnyalah seorang hakim
senantiasa secara kontinyu melakukan proses penggalian dan penemuan hukum.
Tampaknya hal tersebut agak ganjil, karena
kita sudah terlalu meyakini bahwa ajaran Trias
Politica Montesquieu sebagai suatu doktrin yang paling benar. Dalam
masyarakat modern dengan permasalahan yang sangat kompleks, sudah tidak
realistis lagi untuk menerima ajaran tersebut sepenuhnya. Menurut kami, dari
perspektif ini tidak ada lagi perbedaan yang tajam antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, karena di saat kita mau menganut pemisahan yang tajam
dari ketiga komponen tersebut, maka kita telah terjebak dalam suatu legisme
positivis yang hanya mengagungkan undang-undang buatan legislatif sebagai
satu-satunya sumber hukum, padahal ia sudah tertinggal jauh dari laju
perkembangan kompleksitas masyarakat. Penulis sepakat dengan pendapat Benjamin Nathan Cardozo (dalam Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum)
seorang hakim Amerika, yang menyatakan bahwa kewajiban hakim adalah menegakkan
objektivitas melalui putusan-putusannya. Bagi Cardozo, putusan-putusannya
tidaklah merupakan perwujudan aspirasi pribadinya, juga bukan manifestasi dari
pendirian pribadinya, dan juga bukan penerapan faslafah pribadinya, melainkan
putusan tersebut merupakan perwujudan dari aspirasi, pendirian, dan falsafah
masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan. Sehingga, penulis sekaligus
mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan oleh para hakim dalam proses
pembentukan hukum demi tercapainya tujuan hukum (judge made law).
Dalam hubungannya dengan putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perselisihan (sengketa) hasil pemilukada
(PHPUD) yang dibuat oleh hakim-hakim MK, ternyata telah banyak mengalami
perkembangan yang cukup signifikan, karena telah berani melakukan suatu
terobosan hukum yang memutus melampaui ketentuan undang-undang. Untuk pertama
kali, MK memutus melampaui ketentuan undang-undang adalah pada perkara Nomor
41/PHPU.D-VI/2008. Perkara tersebut diputus pada tanggal 2 Desember 2008, yaitu
mengenai PHPUD Pemilukada Gubernur Jawa Timur. Dalam perkara ini, MK memutus
untuk memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara
ulang di Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bangkalan.
Apa sesungguhnya ketentuan undang-undang yang
dilanggar atau yang dilampaui oleh MK? Bahwa pelanggaran-pelanggaran di dalam
sengketa Pemilukada dapat dikategorikan ke dalam beberapa pelanggaran Pemilu
ataupun pelanggaran Pemilukada seperti pelanggaran administratif dan tindak
pidana Pemilu, misalnya money politic, intimidasi, dan penganiayaan.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jenis-jenis pelanggaran tersebut masing-masing ditangani oleh
instansi yang fungsi dan wewenangnya telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam
putusan-putusannya, MK memberikan pertimbangan hukumnya dengan memberikan
penafsiran yang luas demi tegaknya keadilan, yaitu Mahkamah tidak hanya terpaku
secara harfiah dalam memaknai Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 juncto UU
12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008 yang pada pokoknya menyatakan MK mengadili perkara Pemilukada terbatas hanya
persoalan hasil perolehan suara, yang selengkapnya Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004
juncto UU 12/2008 menyatakan, “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya
pasangan calon”, dan Pasal 4 PMK 15/2008 menyatakan, “Objek perselisihan
Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang mempengaruhi: a. penentuan
Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau b.
terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.”
Selanjutnya, MK
memberikan alasan bahwa dalam mengemban misinya sebagai pengawal konstitusi dan
pemberi keadilan tidak dapat memainkan perannya dalam mewujudkan cita-cita dan
tujuan negara dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warga masyarakat
jika dalam menangani sengketa Pemilukada hanya menghitung perolehan suara
secara matematis. Sebab kalau demikian, Mahkamah tidak dapat atau dilarang
memasuki proses peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata terbukti
tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang menciderai hak-hak asasi manusia,
terutama hak politik. Lebih dari itu, apabila MK diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun Pemilukada
berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja dengan
membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Jika demikian maka MK selaku institusi negara pemegang kekuasaan kehakiman hanya diposisikan
sebagai “tukang stempel” dalam menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum (Daerah).
Jika hal itu terjadi berarti akan melenceng jauh dari filosofi dan tujuan
diadakannya peradilan atas sengketa hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut.
Terlebih lagi banyak fakta tentang terjadinya pelanggaran yang belum dapat
diselesaikan oleh peradilan umum karena waktu penyelidikan atau penyidikannya
telah habis, sedangkan KPU dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota harus segera
menetapkan hasil Pemilukada sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang.
Sehingga pada
akhirnya, dari pandangan hukum seperti tersebut di atas, maka MK dalam
mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat
hasil perolehan suara an sich, melainkan juga meneliti secara mendalam adanya
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi
hasil perolehan suara tersebut. Hal ini sangat sejalan dengan ketentuan yang
mengharuskan MK memutus sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat
bukti dan keyakinan hakim”. Dalam berbagai putusan MK yang seperti tersebut
di atas, terbukti telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan,
baik dalam rangka Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau
Pemilukada.
Dalam praktik
yang sudah menjadi yurisprudensi dan diterima sebagai solusi hukum itu, MK dapat menilai pelanggaran-pelanggaran yang
terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu putusan dengan alasan
pelanggaran yang memiliki tiga sifat itu dapat mempengaruhi hasil peringkat
perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau Pemilukada (vide Putusan
Mahkamah Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008). Dasar
konstitusional atas sikap MK ini adalah ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili..., dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Di dalam ketentuan tersebut
jelas dinyatakan bahwa Mahkamah mengadili dan memutus “hasil pemilihan umum”
dan bukan sekadar “hasil penghitungan suara pemilihan umum” saja. Mahkamah
sebagai lembaga peradilan menjadi lebih tepat jika mengadili “hasil pemilihan
umum” dan bukan sebagai peradilan angka hasil penghitungan suara, melainkan
sebagai peradilan yang mengadili masalah-masalah yang juga terjadi dalam
proses-proses pelaksanaan Pemilu dan Pemilukada;
Dari
putusan-putusan MK tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam menilai proses
terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut MK membedakan berbagai pelanggaran
ke dalam tiga kategori, Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak
berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu
atau Pemilukada seperti pembuatan baliho, kertas simulasi yang menggunakan
lambang, dan alat peraga yang tak sesuai dengan tata cara yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Untuk jenis pelanggaran yang seperti ini MK
tidak dapat menjadikannya sebagai dasar pembatalan hasil penghitungan suara
yang ditetapkan oleh KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini sepenuhnya menjadi
ranah peradilan umum dan/atau PTUN; Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilu
atau Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada seperti money
politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan pidana Pemilu, dan
sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil Pemilu atau
Pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara
terstruktur, sistematis, dan masif yang ukuran-ukurannya telah ditetapkan dalam
berbagai putusan Mahkamah. Pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya tidak
signifikan memengaruhi hasil Pemilu atau Pemilukada seperti yang bersifat
sporadis, parsial, perorangan, dan hadiah-hadiah yang tidak bisa dibuktikan
pengaruhnya terhadap pilihan pemilih tidak dijadikan dasar oleh MK untuk
membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU/KPUProvinsi/Kabupaten/Kota; dan Ketiga,
pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan
dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara dan syarat
keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk
membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak
memenuhi syarat sejak awal.
Bahwa
berdasar pandangan dan paradigma yang dianut tersebut maka penulis juga menyimpulkan
bahwa pembatalan hasil Pemilu atau Pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sama sekali tidak dimaksudkan
mengambil alih kewenangan badan peradilan lain, karena MK tidak akan pernah
mengadili pelanggaran pidana atau administrasi dalam Pemilu atau Pemilukada,
melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu
yang berpengaruh terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada sebagai dasar putusan
tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan sanksi administrasi terhadap para
pelakunya. Dengan kata lain, sampai saat ini dan sesuai dengan yurisprudensi
yang ada, MK tidak menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilukada
atau tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi,
namun tetap dapat memeriksa dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat
pada hasil penghitungan suara. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan
bagi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan demokrasi, termasuk
penyelenggaraan Pemilukada. Pandangan Mahkamah demikian menurut penulis didasarkan
atas pemahaman bahwa demokrasi tidak saja dilakukan berdasarkan atas pergulatan
kekuatan politik semata, namun lebih jauh dari itu harus dilaksanakan sesuai dengan
aturan hukum atau nomokrasi. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diperoleh
secara demokratis semata-mata dapat dibatalkan oleh pengadilan jika ternyata
terdapat pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum yang dapat dibuktikan
secara sah dan meyakinkan di hadapan pengadilan.
Senin, 09 April 2012
KPU PROV SULTRA STUDI BANDING KE PROVINSI BENGKULU
Pilihan
untuk melakukan studi banding pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur
di Provinsi Bengkulu di dasari atas beberapa alasan, antara lain : (i) dari
beberapa informasi yang diperoleh bahwa KPU Provinsi Bengkulu tetap menetapkan
Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur meskipun
anggaran belum dicairkan (terkendala masalah anggaran), hal ini mirip dengan
yang dialami oleh KPU Provinsi Sulawesi Tenggara; (ii) Ketua KPU Provinsi
Bengkulu ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu karena diduga telah
menyalahgunakan kewenangan yang menguntungkan pihak lain akibat pengelolaan
anggaran Pemilihan; (iii) KPU Provinsi Bengkulu melaksanakan pemilihan gubernur
dan wakil gubernur serentak dengan 7 (tujuh) KPU Kabupaten yang melaksanakan
pemilihan bupati dan wakil bupati dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota di provinsi
Bengkulu; dan (iv) Meskipun terdapat kendala seperti tersebut di atas, namun
proses pelaksanaan pemilihan dan penghitungan suara tidak terdapat permasalahan
yang berarti. Inilah yang menjadi pokok-pokok alasan atas pilihan untuk
melaksanakan studi banding di Provinsi Bengkulu.
Tim
dari KPU Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 2 (dua) komisioner, yaitu :
Bosman, S.Si, SH, MH, dan Abdul Syahir, S.Sos, SH, MH, dan didampingi oleh 4 (empat)
orang pejabat struktural sekretariat KPU Prov Sultra. Studi banding dilakukan
dengan mengunjungi Kantor KPU Provinsi Bengkulu setelah berkoordinasi dengan
Ketua KPU Provinsi Bengkulu Parsadaan Harahap, SP. Di KPU Provinsi Bengkulu, Tim
diterima oleh komisioner KPU Prov Bengkulu Sa’adah Mardiyanti dan Kabag
Program, Data, dan SDM, Drs Siswanto.
Metode
studi banding dilakukan dengan rapat tatap muka dan kunjungan lapangan. Rapat
Tatap Muka dilakukan di Kantor KPU Bengkulu pada tanggal 05 April 2012 yang
dihadiri oleh seluruh anggota Tim, dan dari pihak KPU Prov Bengkulu komisioner,
Sa’adah Mardiyanti; Sekretaris Drs Yuhardin Seman; Kabag Umum dan Logistik,
Wirin, S.Pd; Kabag Hukum, Teknis, dan Hupmas, Junaidi, SH; Kabag Program, Data,
dan SDM, Drs Siswanto; dan seluruh Kasubag lingkup Sekretariat KPU Prov
Bengkulu. Tim KPU Prov Sultra melalui Bosman, S.Si, SH, MH mengemukakan
beberapa hal yang perlu di sharing terkait penyelenggaraan Pemilihan Gubernur,
antara lain pengelolaan sistem pendukung (supporting
system), yaitu pengelolaan personel penyelenggara pemilu (SDM), pengelolaan
anggaran, pengelolaan logistik, dan pengelolaan dokumentasi kearsipan/Media
Centre serta pengelolaan tahapan penyelenggaraan (electoral governance) khusus menyangkut pengelolaan penyusunan
Data dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan pengelolaan proses penghitungan suara (counting).
Selanjutnya,
Tim melakukan kunjungan lapangan ke KPU Kota Bengkulu, dan diterima langsung
oleh Ketua KPU Kota Bengkulu, Salahuddin Yahya dan Sekretaris KPU Kota
Bengkulu, Sisanto, SP. Di KPU Kota Bengkulu, tim dipresentasikan tentang
penggunaan e-counting yang sudah diterapkan
beberapa kali dalam Pilkada di beberapa KPU Kabupaten/Kota se Provinsi Bengkulu
termasuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu. Penggunaan e-counting ini menunjukkan akurasi 98%
dari hasil perolehan suara manual. Penerapannya dapat mencegah manipulasi dalam
penghitungan suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan data
perhitungan suara berbasis TPS dapat terpelihara dengan baik. Selain itu,
dipersentasikan pula rencana penggunaan e-voter
registration yang prinsipnya sama dengan e-counting yang dapat berfungsi untuk membuka akses kepada pemilih
dan pemangku kepentingan dalam proses pendaftaran pemilih.
Setelah
mendengarkan pemaparan dari KPU Provinsi Bengkulu serta kunjungan lapangan ke
KPU Kota Bengkulu, Tim berkesimpulan untuk merekomendasikan beberapa hal
sebagai acuan buat KPU Prov Sultra dalam pengambilan kebijakan : (i) agar tidak
menimbulkan permasalahan di belakang hari, agar dipastikan dahulu seluruh
pembiayaan harus memiliki dasar hukum sebelum dibayar, misalnya Peraturan
Gubernur menyangkut Pembiayaan Bersama, Keputusan Gubernur menyangkut
Standarisasi Honorarium Penyelenggara Pemilihan, termasuk Standarisasi
Honorarium Kepanitiaan/Kelompok Kerja; (ii) Pengadaan barang dan jasa harus
benar-benar memperhatikan Peraturan Presiden yang mengatur tata cara pengadaan
barang dan jasa; (iii) pengelolaan DPT sedapat mungkin menerapkan sistem e-voter registration selain pendaftaran pemilih manual; (iv)
pengelolaan dokumentasi hasil pemilu sedapat mungkin menerapkan sistem e-counting, selain penghitungan suara
manual, agar integritas proses dapat terjaga dan dipercaya oleh masyarakat; dan
(v) koordinasi dan komunikasi yang intens dengan seluruh pemangku kepentingan
termasuk personel pengamanan.
Minggu, 08 April 2012
Rapat Koordinasi Persiapan Pilgub Sultra 2012
Para komisioner KPU Sultra |
Dalam rakor tersebut, para komisioner KPU Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri atas Bosman, S.Si, SH., MH, Abd Syahir, S.Sos., SH, MH, Ir. Mas'udi, dan La Ode Muhammad Arddin, SE memaparkan tentang kesiapan pelaksanaan Pilgub Sultra 2012. Meskipun terkendala anggaran, namun berdasarkan hasil konsultasi dengan Pemerintah Provinsi Sultra, bahwa Pemprov menjamin berapa pun yang menjadi kekurangan anggaran akan ditambahkan dalam APBD Perubahan 2012. Berdasarkan jaminan tersebut, maka KPU Provinsi Sultra akan menetapkan Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2012.
Dian Anggraini dan Ir Mas'udi |
Sabtu, 07 April 2012
PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM CENGKERAMAN REZIM GANDA
Oleh : Bosman*
Dalam
perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat dengan
pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni bagaimana
proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu jabatan (ambt) dengan pejabat (ambtdrager). Sehingga, pemilihan kepala
daerah dalam perspektif tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu (i) adanya
jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah; (ii) adanya tata cara (mekanisme)
tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan (iii) adanya pejabat,
dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan Bupati/Walikota untuk
daerah kabupaten/kota. Khusus tentang tata cara pengisian jabatan, akan
memunculkan pertanyaan : Apa yang menjadi alasan jabatan kepala daerah itu
harus diisi dengan cara pemilihan (election)?.
Pada
negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan yang tidak
bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu
kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan
kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol
itu sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Tiap jabatan yang secara langsung
dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah pengawasan
langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan
keikutsertaan ataupun pengukuhan publik.
Dalam
praktek berdasarkan hukum positif yang pernah berlaku, sejak negeri ini
diproklamirkan sampai menjelang reformasi, mekanisme pengisian jabatan kepala
daerah diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah (UU
No 1/1945, UU No 1/1957, Penpres No 6/1959, UU No 18/1965, UU No 5/1974, dan UU
22/1999). Berbeda dengan kepala daerah, DPRD yang merupakan salah satu unsur
pemerintahan daerah, justru mekanisme pemilihannya diatur dalam Undang-Undang
yang mengatur tentang pemilihan umum (UU No 15/1969, UU No 4/1975, UU No
2/1980, UU No 1/1985, UU No 3/1999, UU No 12/2003, dan UU No 10/2008). Sehingga
ditinjau dari pengaturan mekanisme pengisian jabatan ini, maka muncullah
istilah rezim pemerintahan daerah dan
rezim pemilu, dan dapat dikatakan
bahwa pemilihan kepala daerah dikategorikan sebagai rezim pemerintahan daerah,
dan pemilihan anggota DPRD dikategorikan sebagai rezim pemilu. Suatu hal yang
agak unik, karena dua unsur sistem pemerintahan daerah tersebut (kepala daerah
dan DPRD) mekanisme pengisian jabatannya diatur dengan rezim pengaturan yang
berbeda.
Pilkada
Dalam Rezim Pemerintahan Daerah
Setelah
era reformasi, yang diikuti dengan beberapa proses desakralisasi terhadap
konstitusi UUD 1945, lahirlah legislasi baru dalam sistem pemerintahan daerah,
yakni UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditandatangani oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri pada hari-hari terakhir masa jabatannya.
Dikatakan baru, karena terdapat pengaturan yang belum pernah diatur dalam
legislasi tentang pemerintahan daerah sebelumnya. Hal-hal baru tersebut, antara
lain adalah pengaturan mengenai pengisian jabatan kepala daerah yang
dilaksanakan melalui pemilihan (bukan pemilihan umum) secara langsung oleh
rakyat (pasal 56 sampai dengan pasal 119). UU No. 32 Tahun 2004 “enggan” menggunakan istilah pemilihan
umum untuk proses ini, karena tidak ada satu frase pemilihan umum pun yang digunakan untuk menjelaskan tentang tata
cara pemilihan kepala daerah. Keengganan semakin jelas bila menelaah lebih jauh
dasar konsideran “mengingat” dalam
pembentukan UU tersebut. Ternyata, yang dijadikan acuan pembentukan UU tersebut
adalah ketentuan pasal 18 UUD 1945 (pengaturan tentang pemerintah daerah),
tanpa sama sekali mempertimbangkan ketentuan pasal 22 E (pengaturan tentang
pemilihan umum) UUD 1945. Namun, kenyataannya bahwa pembuat undang-undang
menerjemahkan frase “dipilih secara
demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan pemilihan langsung yang
tidak lain menggunakan mekanisme dan tahapan-tahapan sebagaimana layaknya
pemilihan umum.
Hal yang sangat tidak wajar
adalah persoalan penyelenggara pemilihan kepala daerah. Dalam ketentuan pasal
1, khususnya angka 21 UU No. 32/2004 mendefinisikan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah
yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus
oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan ini, sesungguhnya
penyelenggara pemilu di daerah (KPU Provinsi/Kabupaten/Kota) telah di
otonomisasi dan/atau di desentralisasi sebagaimana prinsip-prinsip yang
terkandung dalam sistem pemerintahan daerah. Akibatnya, label-label otonomi
daerah melekat pada KPU di daerah dengan menambah embel-embel Daerah di
belakang KPU, sehingga sejak saat itulah pertama kali dikenal istilah KPUD
(Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala
daerah tidak bertanggung jawab kepada KPU yang membentuknya. Padahal, ketentuan
pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa komisi pemilihan umum
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Namunpun demikian, menurut penulis, tak dapat disangkali bahwa secara
umum pemilihan kepala daerah pada periode rezim ini berlangsung dengan relatif cukup
baik, meskipun tak dapat disangkali pula bahwa dengan otonomi penyelenggara
pemilu di daerah telah menimbulkan daya ikat yang kuat antara elit daerah
dengan para komisioner di daerah, yang rasanya kurang elok bila dipandang dari
perspektif kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu. Terlebih lagi
sumber anggaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah berasal dari APBD, yang
sangat mungkin menimbulkan suatu proses tawar-menawar dengan DPRD dan Pemda,
apalagi oknum DPRD dan/ atau oknum pejabat Pemda berniat untuk menjadi calon
kepala daerah/wakil kepala daerah.
Pilkada
Dalam Rezim Pemilu
Banyaknya kritik terhadap
desentralisasi/otonomisasi penyelenggara pemilu di daerah selama kurun waktu
2004-2006 akibat pengaturan penyelenggara pemilu dalam UU 32/2004 yang diberi
kewenangan khusus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah terlepas dari
induknya, menimbulkan pemikiran pembuat undang-undang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Pemikiran
tersebut bermuara pada terbitnya UU No 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum yang sepertinya memberi angin segar memasukkan pemilihan kepala daerah ke
dalam rezim pemilihan umum. Hal ini dapat disimak dari definisi ketentuan pasal
1 angka 4 undang-undang tersebut, yakni bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan ini, secara yuridis formal telah mengkategorikan pemilihan kepala
daerah sebagai pemilihan umum, dan sebagian orang kemudian mengekspresikan
pemilihan kepala daerah dengan menggunakan istilah “pemilukada” (bukan lagi pilkada),
sebagai pertanda berubahnya rezim yang menguasainya, meskipun sebagian orang (termasuk
penulis) masih terbiasa menyebut dengan istilah pilkada.
Meskipun
pemilihan kepala daerah telah dikategorikan sebagai pemilu oleh UU 22/2007,
namun undang-undang ini hanya mengembalikan kewenangan penyelenggara pemilu
pada posisi yang nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis tetapi belum mengubah
paradigma pemilu kepala daerah dalam sistem pemerintahan daerah, karena belum
ada pengaturan lain tentang mekanisme, teknis, dan penganggaran tentang
pilkada, selain yang diatur dalam UU 32/2004 (sebagaimana telah diubah 2 kali dan
terakhir dengan UU 12/2008).
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, kami berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah saat
ini berada dalam kekuasaan dua rezim tersebut. Beberapa alasan dan fakta yang
mendasari pemikiran ini antara lain adalah : pertama, dasar pelaksanaan pilkada apapun alasannya masih merujuk
pada UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang secara substansi banyak
bertentangan dengan pengaturan mengenai penyelenggara pemilu yang diatur dalam
UU 22/2007 tentang penyelenggara pemilu, misalnya saja masalah masa jabatan
badan pelaksana pemilu yang relatif lama, sementara tahapan yang dilaksanakan
tidak berubah (relatif lebih singkat), akibatnya dari sisi efektifitas anggaran
terjadi pemborosan; kedua, sumber
anggaran pemilihan kepala daerah masih berasal dari APBD, yang merupakan domain
kekuasaan pemerintahan daerah, tetapi pelaksananya adalah KPU yang bersifat
nasional, tetap, mandiri, dan hierarkis yang merupakan domain kekuasaan rezim
pemilu, akibatnya tidak ada sinkronisasi antara tahapan dan anggaran, sehingga
tidak jarang tahapan yang sudah dibuat akan direvisi terus, sampai tersedia
anggaran yang cukup memadai, yang berujung pada terhambatnya pelaksanaan
pemilihan kepala daerah. Fakta menunjukkan bahwa dari 7 provinsi dan 240-an
kabupaten/kota yang berencana melaksanakan pemilu kepala daerah pada tahun
2010, hampir semua tertunda beberapa kali tahapannya hanya karena tidak
memadainya anggaran, baik itu belum disetujui di DPRD, maupun yang terhambat
karena belum di tanda tanganinya Akta Hibah dengan Pemerintah Daerah.
Menurut
penulis, hal yang harus segera dibenahi yang merupakan akar permasalahan pemilu
kepala daerah adalah membuat sinkronisasi pengaturan masalah pemilu kepala
daerah dengan pemilu presiden/wakil presiden, pemilu legislatif, dan
penyelenggara pemilu dengan terlebih dahulu membenahi konstitusi (baca opini : Gagasan Pemilu Eksekutif Serentak dan
Amandemen Konstitusi, Kendari Ekspres edisi 12 Januari 2010), selanjutnya
barulah dibuat konstruksi pengaturan mengenai pelaksanaan pemilu presiden dan
kepala daerah, yang penganggarannya bersumber dari APBN.
*Penulis, Anggota KPU Provinsi Sulawesi
Tenggara
REDESAIN SISTEM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF
Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian
Media Sultra, Rabu 8 Pebruari 2012, Nomor 2311/Tahun IX
Mengawali
tulisan ini, penulis terlebih dahulu mengutip rumusan tentang pemilihan umum
yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, dkk (2008) yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa pemilihan umum merupakan mekanisme pendelegasian sebagian
kedaulatan rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota legislatif (pusat
dan daerah), presiden/wakil presiden, dan kepala daerah/wakil kepala daerah
untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik sesuai dengan kehendak rakyat.
Mekanisme pendelegasian ini dilakukan secara periodik dan tertib agar terjadi
suatu sirkulasi elit yang elegan, yang bertujuan untuk memindahkan berbagai
macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga
legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan
beradab. Dari rumusan tersebut, berarti dalam pemilihan umum terdapat suatu
cara penerjemahan suara rakyat dalam bentuk pemungutan suara yang dikumpulkan
dan dihitung lalu dikonversi menjadi kursi-kursi yang diisi oleh para kandidat
yang kemudian menjadi penyelenggara negara sebagai pemegang mandat atas
pendelegasian tersebut di atas. Mekanisme penerjemahan suara menjadi kursi ini,
kemudian dikenal sebagai Sistem Pemilihan Umum sebagaimana didefinisikan oleh
Andrew Reynold, dkk (2005) : At the most
basic level, electoral systems translate the votes cast in a general election
into seats won by parties and candidates.
Berbicara
tentang konversi suara menjadi kursi, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi
pertimbangan ketika mendesain suatu sistem pemilihan umum, yaitu representasi
(keterwakilan) suara dan akuntabilitas kandidat terpilih. Hal ini pula yang
kemudian menimbulkan pemilahan sistem pemilihan umum atas dua arus pemikiran.
Menurut Farrell (1997), dua arus pemikiran tersebut adalah : pertama, konsep mikrokosmos yang mengandaikan legislatif adalah sampel dari
populasi masyarakat atau miniatur masyarakat, sehingga legislatif harus
merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berfikir, merasa, dan
bertindak; dan kedua, konsep prinsipal-agen yang mengandaikan bahwa
legislatif merupakan pemegang kuasa rakyat, yang bertindak mewakili kepentingan
para pihak yang memilihnya tanpa mempersoalkan komposisi statistik-sosiologis.
Atas dasar pemikiran tersebut, konsep pemikiran pertama diyakini dapat
diakomodasi sebagai sistem pemilihan umum proporsional, dan konsep pemikiran
kedua mewakili sistem pemilihan umum majority (di Indonesia, sistem pemilihan
kedua ini menyebutnya sebagai sistem distrik, suatu penyebutan yang tidak lazim
dalam membahas sistem pemilu, namun telah sering digunakan oleh para politisi
dalam membahas sistem pemilu).
Dewasa
ini, varian sistem pemilihan umum yang dianut oleh negara-negara demokratis
sangat banyak jenisnya, namun menurut International
Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA)
sistem pemilu dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu Plurality/Majority
(P/M) Systems, Proportional Representation (PR) Systems, Mixed Systems, dan
Other Systems (Andrew Reynold, dkk, 2005). Setiap jenis sistem pemilu memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, tidak ada satu sistem pemilu pun yang
dapat dikatakan lebih sempurna dari yang lain. Hal ini cukup beralasan, karena
bila kita menginginkan keterwakilan (representasi) suatu sistem pemilu cukup
tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan dengan wakil yang banyak (multi-member districs), maka berarti
pilihan kita adalah PR Systems, namun pasti akan terkendala pada faktor
akuntabilitas calon terpilih, karena ia akan lebih loyal kepada partai yang
mencalonkannya ketimbang konstituennya dan sebaliknya bila kita menginginkan
akuntabilitas calon terpilih tinggi, kita harus mendesain daerah pemilihan
berwakil tunggal (single-member districs),
yang berarti pilihan kita adalah P/M Systems, namun pasti banyak suara yang
akan hilang tidak terkonversi menjadi kursi (derajat representasi/ keterwakilannya
rendah), karena prinsip the winner takes
all dari sistem ini. Namunpun demikian, bukan berarti kemudian kita (terutama
pembuat Undang-Undang) kehilangan akal untuk mencari bentuk sistem pemilu yang
paling tepat diadopsi dengan mempertimbangkan tujuan dari tatanan politik yang
dikehendaki.
Bagaimana
dengan sistem pemilu legislatif di Indonesia?. Untuk keperluan dan kebutuhan
redesain, kita membutuhkan informasi mengenai pengalaman penyelenggaraan
pemilihan umum yang pernah dilaksanakan. Sejak Proklamasi kemerdekaan 1945,
Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum legislatif sebanyak 10 (sepuluh)
kali, dengan rincian 1 (satu) kali di masa rezim Orde Lama, 6 (enam) kali di
era Orde Baru, dan 3 (tiga) kali pada era pasca reformasi.
Pada
Pemilu Orde lama 1955, diadopsi PR systems dengan subvarian close list PR (CLPR)
yang pembagian kursinya menggunakan sistem kombinasi nasional dengan
pemberlakuan stembuss accord, yaitu
seluruh sisa suara yang tidak terkonversi menjadi kursi di 16 daerah pemilihan
(termasuk 1 daerah pemilihan yang tidak melaksanakan pemilu ; Irian Jaya/Papua
dan Papua Barat sekarang) digabung secara nasional untuk keperluan pembagian
sisa kursi yang belum teralokasi. Daerah pemilihan yang dibentuk merupakan
wilayah administratif saat itu, tanpa pembatasan district magnetude. Meskipun derajat representasi sangat tinggi,
namun pemilu ini menempatkan wakil 27
partai politik di DPR dan 1 orang calon perseorangan, sehingga di lembaga
legislatif terbentuk pluralisme
terpolarisasi yang bukan saja sulit dalam pengambilan keputusan bahkan
terjadi konflik di antara elit-elit partai tersebut. Pemilu Orde Baru, juga
masih mengadopsi CLPR. Karena peserta pemilu hanya dua partai politik dan satu
golongan karya (kecuali Pemilu 1971, peserta pemilunya 10 kontestan), sudah
pasti di lembaga legislatif akan terbentuk pluralisme
sederhana bahkan single-party
yang meskipun dapat menjamin stabilitas pemerintahan namun cenderung otoriter. Hal
menarik dari sistem pemilu di era orde baru adalah district magnetude-nya mengakomodasi territorial representation (perwakilan wilayah) dengan memberikan
jaminan minimal satu kursi pada kabupaten/kota sehingga terjadi perimbangan
jumlah kursi antara Jawa dan luar Jawa (bayangkan, kalau diterapkan sekarang,
berarti alokasi kursi DPR di Sultra minimal 12 kursi). Pemilu 1999, pemilu
multipartai kedua setelah 1955 dengan tetap mengadopsi CLPR, bedanya dalam
pemilu ini tidak memberlakukan sistem kombinasi, tetapi kursi habis di daerah
pemilihan dengan memberlakukan stembuss
accord, sementara mekanisme pembentukan district
magnetude-nya sama dengan pemilu orde baru. Hasil pemilu menunjukkan 21
partai politik berhasil menempatkan wakilnya di DPR, sehingga dalam lembaga
legislatif terbentuk pluralisme
terpolarisasi. Pemilu 2004, pemilu pertama kali yang secara formal
menggunakan open list PR (OLPR), namun secara materiil (substansi) tetap CLPR. Ballot structure-nya menggunakan OLPR
yang kemudian berdampak pada mahal dan rumitnya pemilu 2004, sementara electoral formula-nya menggunakan CLPR,
dimana kandidat terpilih bukan ditentukan oleh pemilih namun ditentukan oleh
partai politik melalui nomor urut yang ditentukan oleh partai politik. Kandidat
populer yang ditempatkan pada nomor urut besar hanya dijadikan sebagai vote getter oleh partai politik untuk
meraup suara sebanyak-banyaknya, namun tidak mengantarkannya sebagai kandidat
terpilih. Pemilu ini kemudian membentuk sistem kepartaian pluralisme terpolarisasi, yang menempatkan 16 parpol di DPR dan
kemudian membentuk koalisi gemuk yang tidak efektif. Pemilu 2009 menerapkan
sepenuhnya OLPR (itupun setelah diluruskan dengan putusan MK), lalu
memodifikasi Pemilu 2004 dengan memperkecil district
magnetude dan penambahan sistem kombinasi di tingkat provinsi untuk
pembagian sisa kursi yang tidak mencapai 50% BPP di daerah pemilihan serta
memberlakukan parliamentary treshold
2,5%. Pemilu ini menghasilkan sistem kepartaian pluralisme moderat dengan menempatkan 9 partai politik di DPR.
Namunpun demikian, Sistem Pemilu 2009 yang menerapkan OLPR berdampak pada rumit
dan mahalnya biaya surat suara dan formulir penghitungan suara, tidak saja
rumit bagi penyelenggara, namun menyulitkan pemilih serta rawan kecurangan,
baik dilakukan kandidat, penyelenggara maupun kolaborasi keduanya. Hal ini
tidak bisa dihindari karena sistem pemilu OLPR, mengharuskan penempatan nama
kandidat yang jumlahnya ratusan, dengan jumlah partai politik yang banyak pada
surat suara. Selanjutnya, penerapan OL PR telah membuat konflik antar-kandidat
dalam internal partai politik di daerah pemilihan yang sama dan berujung pada
tidak sehatnya penataan institusi partai politik yang notabene bertugas melakukan
pendidikan politik bagi masyarakat, serta visi misi, dan semangat kolektif
partai politik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai dan
dalam jangka panjang akan semakin menurunkan kepercayaan rakyat terhadap partai
politik.
Dari
uraian di atas, untuk mencapai pemilu yang berderajat representasi dan
akuntabilitas yang baik dengan mempertimbangkan sistem kepartaian multipartai pluralisme sederhana yang menopang
stabilitas sistem pemerintahan presidensiil, perlu melakukan redesain sistem
pemilihan umum. Untuk keperluan ini, penulis akan merekomendasikan suatu sistem
pemilu yang menggabungkan antara PR system dan M/P System, dengan maksud
mengambil keuntungan dari kedua sistem tersebut dan kelemahan yang satu dapat
ditutupi oleh kelebihan sistem pemilu yang lainnya atau sebaliknya. Menurut
penulis, varian yang paling cocok digabungkan adalah varian CLPR dari PR systems dan First Past The Post (FPTP) dari M/P
Systems. Alasan pilihan penulis, karena kedua varian sistem tersebut cukup
sederhana, mudah diterapkan, mudah dipahami pemilih, tidak rawan manipulatif, dan
murah. Secara singkat operasionalisasinya dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, Jumlah kursi DPR dialokasikan
pada setiap provinsi berdasarkan jumlah penduduk, sekaligus ditentukan jumlah
kursi yang dipilih untuk CLPR maupun FPTP setiap provinsi dengan ketentuan bila
jumlah kursi di provinsi tersebut bernilai genap, maka jumlah kursi CLPR sama
dengan
jumlah kursi FPTP, dan jumlah kursi CLPR lebih besar dari FPTP bila jumlah
kursi ganjil; Kedua, Daerah
Pemilihan untuk CLPR adalah provinsi, sementara daerah pemilihan FPTP adalah
provinsi atau gabungan kabupaten/kota, kabupaten/kota, atau gabungan kecamatan,
dimana satu provinsi minimal terbentuk 1 daerah pemilihan FPTP; Ketiga, Pencalonan, setiap partai dapat
mengajukan daftar calon maksimal 120% dari kuota kursi CLPR di setiap provinsi
dan mengajukan 1 orang calon di setiap daerah pemilihan FPTP; Keempat, Ballot Structure, surat suara
memuat tanda gambar partai dan foto calon yang diajukan lewat FPTP (sudah pasti
tanda gambar partai lebih banyak atau sama dengan jumlah foto calon), sehingga
pemilih diminta memilih salah satu tanda gambar partai dan/atau salah satu foto
calon (bila jumlah partai seperti Pemilu 2009 lalu, maka surat suara maksimal
sebesar kertas doublefolio); Kelima, pembagian
kursi, untuk hasil perolehan suara tanda gambar partai politik menggunakan
sistem quota varian Hare murni, dimana sisa suara dibagi menurut prinsip the largest remainder untuk setiap
provinsi, dan untuk perolehan suara calon, kursi otomatis diberikan kepada
partai yang mengajukan calon yang menang di setiap daerah pemilihan FPTP dengan
menggunakan prinsip the winner takes all
(bila diberlakukan treshold, maka partai yang dapat diikutkan dalam pembagian
kursi adalah partai yang melampaui treshold tersebut); dan Keenam calon terpilih untuk daerah pemilihan CLPR ditetapkan
berdasarkan nomor urut dalam daftar calon yang diajukan partai politik yang
mendapat kursi, sementara untuk daerah pemilihan FPTP diberikan kepada calon
yang menang (memperoleh suara terbanyak).
Sistem
pemilu hybrid (Indonesia : baca
‘hibrida’) seperti ini telah sukses diterapkan dengan beberapa pengaturan
khusus di beberapa negara seperti Jerman, New Zaeland (disebut sistem Mix Member Proportional/MMP), Taiwan,
Korea Selatan, Rusia (disebut sistem Mix
Member Majoritarian/ MMM) dan beberapa negara lainnya. Tentu semua ini
dapat diterapkan di Indonesia, tergantung pada hasil pengkajian dan cara
pandang para pembuat undang-undang, dalam hal ini para anggota DPR sebagai
wakil rakyat yang terhormat, karena tulisan ini hanyalah merupakan hasil kajian
penulis sendiri yang berkeyakinan bahwa inilah sistem pemilu yang ideal
diterapkan dalam Pemilu Legislatif di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan
telah dan akan ada pihak-pihak lain yang pernah/akan merekomendasikan hal yang
sama dengan penulis.
*Penulis, Anggota
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara
MANAJEMEN PEMILIHAN KEPALA DAERAH : EFISIENSI VS EFEKTIFITAS
Oleh : Bosman, S.Si, S.H, M.H.*
Publikasi : Harian
Media Sultra, Senin 5 Maret 2012, Nomor 2333/Tahun IX
Salah
satu subkajian pemilihan umum (termasuk pemilihan kepala daerah) adalah subkajian
electoral management, atau management for electoral processes, yang
mengkaji manajemen penyelenggaraan setiap tahapan pemilihan umum, mulai dari
tahapan persiapan, pelaksanaan sampai dengan tahapan penyelesaian. Dalam kaitan
dengan itu, Undang-Undang (UU 32/2004 dan UU 15/2011) telah memberikan
kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum (termasuk di daerah) untuk melakukan
pengelolaan proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) sesuai
dengan tingkatannya. Dalam mengelola penyelenggaraan pilkada tersebut, KPU di
daerah (baca : KPU provinsi/kabupaten/kota sesuai tingkatannya) pada dasarnya
memiliki tugas dan wewenang yang mencakup 2 (dua) kategori besar, yaitu pertama, pengelolaan proses
penyelenggaraan pilkada (electoral
governance); dan kedua, pengelolaan
sistem pendukung penyelenggaraan pilkada (electoral
supporting system).
Ruang
lingkup pelaksanaan tugas electoral
governance meliputi penyelenggaraan seluruh tahapan pilkada. Pasal 65 ayat
(3) UU 32/2004 telah menentukan bahwa tahapan pelaksanaan pilkada meliputi :
(i) penetapan daftar pemilih; (ii) pendaftaran dan penetapan calon kepala
daerah/wakil kepala daerah; (iii) kampanye; (iv) pemungutan suara; (v)
penghitungan suara; dan (vi) penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Tahapan-tahapan ini
direncanakan, dilaksanakan, dan dikelola sedemikian rupa secara demokratis,
yang sasaran utamanya adalah terpilihnya pasangan calon kepala daerah/wakil
kepala daerah. Tahapan ini harus dilaksanakan secara apik dan runut, artinya
bahwa harus terstruktur, tahapan yang satu tidak dapat dilaksanakan bila
tahapan sebelumnya belum terlaksana. Misalnya, tahapan kampanye tidak dapat
dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran dan penetapan calon belum selesai, atau
tahapan pemungutan suara tidak dapat dilaksanakan kalau tahapan pendaftaran
pemilih, tahapan penetapan calon, dan tahapan kampanye belum selesai
dilaksanakan, dan seterusnya. Artinya bahwa dimensi waktu dan sifat sekuensial
dalam pelaksanaan tahapan pilkada merupakan hal yang sangat penting, atau
dengan kata lain tahapan-tahapan tersebut adalah merupakan satu kesatuan
penyelenggaraan pilkada yang tidak dapat dibolak-balik/ditukar jadwal dan waktu
pelaksanaannya.
Sementara
ruang lingkup pelaksanaan tugas electoral
supporting system, meliputi pengelolaan terhadap sistem pendukung, yakni :
(i) organisasi personil badan penyelenggara dan panitia pelaksana pilkada; (ii)
sistem dan jumlah anggaran yang memadai; (iii) sistem pengadaan, pendistribusian
dan jumlah logistik yang sesuai dan memadai; dan (iv) sistem dokumentasi dan
informasi yang sesuai. Keempat faktor pendukung ini bukan saja jenisnya harus
memenuhi syarat dan jumlahnya memadai menurut Undang-Undang, tetapi
ketersediaannya harus konsekuen dan bersesuaian dengan tahapan, program, dan
jadwal sebagaimana pengelolaan electoral
governance tersebut di atas. Misalnya saja personil Panitia Pemungutan
Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, bukan saja harus memenuhi syarat dan
jumlahnya cukup di semua desa/kelurahan, tetapi pembentukannya harus
dilaksanakan sebelum tahapan pendaftaran pemilih dimulai, karena PPS harus
mengangkat Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang akan memutakhirkan
data pemilih berdasarkan data kependudukan dari pemerintah daerah, atau
misalkan saja anggaran bukan saja harus sudah ditetapkan dengan sistem yang
benar dan jumlah yang memadai, tetapi juga harus dicairkan sesuai dengan
tahapan pilkada yang telah ditetapkan, dan pencairan selanjutnya tidak
menghambat tahapan selanjutnya. Sehingga dengan demikian, terhambatnya
pengelolaan sistem pendukung ini sudah tentu akan menghambat pelaksanaan tugas electoral governance tersebut di atas,
dan sudah pasti tahapan penyelenggaraan pilkada akan tertunda.
Tugas
yang pertama tidak mungkin dapat terlaksana bila tidak dibarengi dengan
ketersediaan sistem pendukung yang memadai, sehingga keduanya harus berjalan
beriringan agar sasaran yang dituju dapat tercapai. Namun ternyata fakta
menunjukkan hal yang agak berbeda dari maksud baik tersebut bila ditinjau dari
sudut pandang penilaian publik (awam) atas efektifitas dan efisiensi
pelaksanaannya.
Penilaian
atas pelaksanaan tugas electoral
governance, ditentukan oleh efektifitas pelaksanaan tahapan yang sudah
ditetapkan, yakni seberapa konsekuen tahapan tersebut dilaksanakan, seberapa
baik kualitas dan ketepatan waktu pelaksanaannya dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang dikehendaki. Publik akan menilai bahwa penyelenggara tidak
berhasil apabila tahapan pilkada tidak dilaksanakan tepat waktu atau tidak
konsekuen. Di sisi lain, penilaian atas pengelolaan supporting system ditentukan oleh efisiensi penggunaannya, yakni
seberapa minimum menggunakan personel, seberapa hemat menggunakan anggaran,
logistik, dan dokumentasi data pilkada. Publik ternyata memberikan penilaian
berdasarkan prinsip ekonomi, mengharapkan hasil yang seefektif mungkin dengan
menggunakan sistem pendukung seefisien mungkin. Dari fenomena ini, beberapa
pertanyaan yang harus dijawab secara bijak perlu dikemukakan, antara lain :
Apakah tepat bila surat suara pilkada dicetak hitam putih dengan ukuran minimal,
kartu pemilih ditiadakan, formulir
pendaftaran pemilih dan penghitungan suara dikurangi sebagian, formulir
verifikasi dukungan calon perseorangan ditiadakan, bahan sosialisasi
ditiadakan, demi efisiensi ? ; Apakah tepat bila personel KPPS, PPDP, PPS, dan
PPK yang bertugas memutakhirkan data pemilih, memverifikasi dukungan calon
perseorangan, melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara, mensosialisasikan
pelaksanaan Pilkada di tingkat bawah, dan mendistribusikan logistik pilkada yang
jangka waktunya telah diatur Undang-Undang digaji dengan honor jauh di bawah
standar upah minimum regional (UMR) atau dipotong masa jabatannya demi
efisiensi ? ; Apakah tepat bila penyelenggara pilkada tidak perlu
mendokumentasikan data pilkada di tengah tuntutan publik yang haus informasi
tentang proses penyelenggaraan pilkada, demi efisiensi ?; lebih krusial lagi
kalau kemudian kita mempertanyakan seberapa pentingkah pelaksanaan Pilkada
dibanding pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah, jembatan, dan
sarana/prasarana lainnya?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan lebih fair kalau penulis menyajikan contoh kasus dan data-data dalam
perencanaan pelaksanaan Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara yang telah
menimbulkan persepsi beragam akibat debat kusir yang tidak dilandasi basis
argumentasi yang tepat terutama pendapat yang membandingkan anggaran Pemilu
Gubernur Tahun 2007 dan Tahun 2012 yang dikemukakan oleh (yang katanya) tokoh
yang paham ilmu kepemiluan. Untuk menguji akurasi pendapat tersebut, informasi berikut
dapat dijadikan referensi untuk mengujinya : Pertama, Personel organisasi pelaksana pemilu mengalami peningkatan
jumlah yang sangat signifikan akibat pemekaran wilayah administratif, yakni
penambahan 2 kabupaten/kota, penambahan 92 kecamatan, penambahan 225 desa/kelurahan,
dan penambahan 714 TPS; Kedua, Penambahan
jenis personel baru pelaksana pilkada, yaitu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih
(PPDP) pada 4.629 TPS akibat perubahan regulasi/pengaturan Pilkada; Ketiga, Peningkatan honorarium PPK, PPS,
dan KPPS akibat penambahan beban kerja dan perubahan regulasi; Keempat, penambahan jenis logistik
akibat perubahan regulasi dengan berlakunya ketentuan membolehkannya calon
perseorangan dalam Pilkada dan penambahan logistik DPS/DPT yang diakibatkan
oleh diwajibkannya PPS memberikan salinan DPS/DPT kepada perwakilan peserta
pilkada di tingkat desa/kelurahan; Kelima,
penambahan item biaya operasional verifikasi PPS dan PPK akibat penambahan
kewenangan verifikasi faktual terhadap dukungan calon perseorangan; Keenam, Peningkatan biaya
pendistribusian logistik dari KPU Provinsi ke 12 KPU Kabupaten/Kota, dari 12
KPU Kabupaten/Kota ke 209 kecamatan, dari 209 kecamatan ke 2.136
desa/kelurahan, dan selanjutnya ke 4.629 TPS pulang pergi; dan Ketujuh, Inflasi harga logistik pemilu 4
tahun terakhir.
Dari
informasi ini, masih tepat dan relevankah kita menilai sesuatu dengan
menggunakan parameter yang berbeda, tanpa mempertimbangkan dan mengabaikan
dinamika perkembangan wilayah, jumlah pemilih, perubahan regulasi, penambahan
jumlah dan jenis logistik, dan inflasi harga dalam kurun waktu yang relatif
tidak singkat?. Tentunya publik sudah dapat mengambil kesimpulan tepat tidaknya
pendapat yang membandingkan anggaran Pilgub 2007 dan Pilgub 2012, tanpa merinci
secara detail parameter apa yang dipergunakan untuk membuat perbandingan, dan basis
argumentasi apa yang mendasari pernyataannya.
Sebagai
penyelenggara yang baik, apa pun alasannya harus membuat pilihan, mana yang
menjadi prioritas dalam merencanakan Pilkada,
efektivitas penyelenggaraan ataukah efisiensi pembiayaan dengan
mengurangi/menghilangkan roh Pilkada itu sendiri. Penulis sependapat dengan Ramlan
Surbakti, dkk (2008) bahwa yang menjadi prioritas adalah pencapaian tujuan
penyelenggaraan Pilkada (efektifitas), meskipun yang efektif tidak selalu
efisien, karena pelaksanaan tugas electoral
supporting system tidak hanya dinilai dari segi efisiensinya, tetapi juga
dukungannya bagi pencapaian tujuan pelaksanaan tugas electoral governance. Sebagai tambahan deskripsi, misalkan saja
untuk meningkatkan partisipasi pemilih, agar menjamin pemilih menyadari dan
berminat menggunakan hak pilihnya dalam pilkada sehingga bersedia mengecek
namanya dalam DPS, mengikuti kampanye berbagai pasangan calon, berdiskusi
dengan teman mengenai pilkada, bertanya kepada PPS bila belum menerima undangan
memberikan suara, dan datang ke TPS untuk memberikan suara, akan diperlukan
program sosialisasi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada dan semua
aparatnya pada semua tingkatan dengan berbagai metode, yang tentunya semua itu
dapat dilaksanakan bila didukung oleh anggaran, logistik, dan personil
pelaksana yang memadai. Karenanya, walaupun efisiensi sangat penting dalam
pelaksanaan sistem pendukung, namun pencapaian tujuan penyelenggaraan pilkada
seringkali memerlukan sistem pendukung yang kurang efisien.
Perbedaan
sudut pandang atas pilihan prioritas mana yang lebih diutamakan inilah yang
menyebabkan perbedaan persepsi antara penyelenggara pilkada sebagai pengelola
anggaran dan pemerintah daerah dan DPRD sebagai institusi yang berwenang
menetapkan anggaran. Dalam praktik yang terjadi selama ini, seakan-akan tahapan
yang bergantung pada anggaran, sehingga persepsi ini digunakan oleh pihak-pihak
berkepentingan untuk ‘mengatur’ penyelenggara pilkada dalam menetapkan tahapan
pelaksanaan pilkada. Penyelenggara pilkada kemudian terkesan ‘memohon’ kepada
pihak-pihak berkepentingan agar memenuhi ketersediaan anggaran untuk
melaksanakan tahapan penyelenggaraan pilkada. Fenomena inilah yang kemudian
dikenal dengan istilah ‘politisasi anggaran’. Padahal ketentuan pasal 116 ayat
(5) UU 15/2011 menegaskan bahwa Pendanaan penyelenggaraan pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota wajib dianggarkan dalam APBD. Kata ‘wajib’ disini
mengisyaratkan adanya ‘hak’ di pihak yang lain, sehingga sudah seyogiyanya
bahwa ternyata anggaran lah yang bergantung pada tahapan pilkada, bukan
sebaliknya. Semoga penyelenggaraan pilkada di masa yang akan datang semakin
berkualitas, baik dari segi electoral
governance-nya maupun electoral
supporting system-nya.
*Penulis, Anggota
KPU Provinsi Sulawesi Tenggara
Langganan:
Postingan (Atom)